Salah satu penyebabnya adalah bahwa segala kebutuhan teroris, seperti taktik dan strategi, cara memperoleh senjata atau merakit bom, cara meracik racun hingga menciptakan bioteror, seperti wabah penyakit, semuanya bisa didapat dari internet.
Hanya diperlukan inovasi dan keberanian, seperti yang pernah dipertontonkan oleh Charlos Marighela (Jackal), dan George Habash dari Popular Front for the Liberation of Palestine. Paduan antara inovasi, pengalaman, dan latar belakang pendidikan akan menjadikan eksistensi teroris cepat menjadi besar dan menakutkan. Lihatlah strategi, kualitas, dan frekuensi aksi teror yang diotaki Azahari (alm).
Setidaknya sejak Mei 2000- Oktober 2005 tercatat 28 kali insiden peledakan bom di Indonesia. Sejak itu hingga Juli 2009, hanya terjadi satu kali aksi (Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton).
Jadi, seperti dikutip sebelumnya, ancaman teroris generasi baru akan lebih efektif, mengerikan, dan mematikan. Teroris generasi baru bukan hanya berhenti pada sosok Bachrumsyah, Salim Mubarok at Tamimi, dan Muhammad Bahrun Naim, semata.
Banyak orang muda usia di Indonesia telah di-bai’at atau dicuci otak dengan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Dengan memanfaatkan media sosial, mereka bisa memperoleh pengetahuan dan teknologi serta kemampuan menyerang target atau sasaran, dan itu bisa dilakukan secara mandiri.
Dengan demikian, tak ada cara lain bagi BNPT dan kepolisian untuk mengambil langkah antisipatif. Hanya saja, perlu diingat bahwa perang melawan teroris tidak akan pernah dapat dimenangkan jika tanpa dukungan aktif dari masyarakat.
Rencana merevisi UU tentang terorisme adalah langkah defensif-strategis yang harus segera direalisasikan. Ini sangat penting karena dengan UU tersebut, ada penambahan wewenang yang akan memudahkan aparat keamanan (polisi) untuk menindak setelah ada indikasi bahwa seseorang atau sekelompok orang diduga berencana melakukan aksi teror.
Terlepas dari ancaman teroris generasi baru, ideologi agama realitasnya telah menjadi alat untuk membajak jihad yang digunakan menjustifikasi tindakan yang sebenarnya bertentangan dengan elan jihad itu sendiri. Dan, Islam bukan agama monolit, gampang terbelah oleh gerakan-gerakan ideologis.
Barangkali betul kata Abdurrahman Wahid (Gus Dur-almarhum) bahwa agama harus dipisahkan dengan ideologi karena ideologi bisa digunakan sebagai senjata politik untuk mendiskreditkan dan menyerang siapa pun yang pandangan politik dan pemahaman keagamaannya berbeda dari mereka.
Adjie Suradji
Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Ancaman Teroris Generasi Baru".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.