Bukan yang pertama
Dalam catatan Kompas, Presiden Jokowi bukan yang pertama kali mengajak makan siang para penggiat sosial media di Istana Negara. Pada medio Desember lalu, Presiden juga mengajak makan siang para penulis di Kompasiana. Presiden, waktu itu, justru balik mengundang para penulis di Kompasiana makan siang di Istana Negara saat mereka mengundang Presiden menghadiri pembukaan Kompasianival 2015. Sebelumnya, pada Mei 2015, Presiden Jokowi juga mengundang penggiat sosial media lainnya makan siang bersama di Istana Negara.
Sebelum berdialog, pertemuan diawali dengan makan siang yang diikuti penggiat sosial media dari beragam latar belakang. Mereka dipilih secara acak tanpa memandang latar belakangnya. Bahkan, sebagian tak saling kenal dan baru bertemu di Istana.
Sebagian besar dari mereka menyangkal bahwa mereka relawan Jokowi saat Pemilu 2014. Alexander mengaku sebagai pendukung pemerintahan yang baik. "Saya bukan relawan," kata Alexander, yang juga diamini oleh rekan-rekannya.
Siang itu, penggiat sosial media juga baru tahu bahwa kerja Presiden nyaris tak kenal waktu, dari pagi hingga menjelang tengah malam. Begitu banyak jadwal formal dan informal yang harus dijalani sepanjang hari.
Gambaran betapa Presiden yang "gila kerja" juga belum tersampaikan di media sosial. Ibaratnya, keringat Presiden tak terlihat menetes walau jadwal kegiatannya padat setiap hari. Meskipun hampir semua kegiatan itu dirilis di sejumlah laman resmi pemerintah, semua informasi di sana belum menggambarkan jerih payah Presiden memikirkan negara.
"Ini pekerjaan rumah yang harus dilakukan tim di sekitar Presiden," kata Syafiq Pontoh, penggiat media sosial yang hadir.
Menurut peneliti Charta Politika Yunarto Wijaya, acara itu merupakan sikap Presiden sebagai langkah seorang pemimpin yang ingin mendengarkan persoalan dari bawah. Presiden tak puas dengan mendengarkan laporan para menteri dan orang-orang dekatnya. Hal itu dibuktikan dengan pertemuan-pertemuan serupa dengan pedagang kaki lima, tukang ojek, pedagang pasar, pengusaha, budayawan, akademisi, ekonom, dan elite politik.
Untuk menata PKL di Solo, misalnya, Jokowi harus menggelar pertemuan 54 kali. Begitu juga ketika memimpin Provinsi DKI Jakarta, saat Jokowi menggelar pertemuan puluhan kali saat ingin menata pedagang Pasar Blok G Tanah Abang, Waduk Pluit, ataupun pembebasan lahan untuk proyek pemerintah lain.
"Bentuk komunikasi dengan netizen hanya konsekuensi adaptasi dengan pendekatan teknologi untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Sebab, sosial media adalah sebuah instrumen wajib yang digunakan hampir semua lapisan masyarakat saat ini," kata Yunarto. (NDY)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Januari 2016, di halaman 4 dengan judul "Saat 'Netizen' Ingin Jokowi 'Usil' Sesekali".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.