Pesantren di NU, baik terpadu dan salafiah, adalah penganjur Islam toleran (at-tassammuh). Pendidikan di pesantren mengajarkan Islam "di sini" dengan tradisi dan kebudayaan Nusantara (at-turats wa as-tsaqaafa) tanpa membabi buta mengabsorsi budaya dan pemikiran Arab. Demikian pula Muhammadiyah. Secara historis-normatif tujuannya mendidik umat Islam berpikir rasional dan modern, bukan ekstrem-radikal.
Kata radikal juga mengalami de-positioning. Dalam KBBI kata radikal tidak pernah merujuk secara khusus pada agama. Radikal berhubungan dengan hasrat berpikir secara prinsipiil atau sikap politik amat keras mengubah undang-undang dan pemerintahan. Kamus Webster mengartikan radikalisme, "the opinions and behavior of people who favor extreme changes especially in government: radical political ideas and behavior".
Kata radikal dan radikalisme secara generik berhubungan dengan pemikiran politik atau gerakan kiri. Namun, sepanjang dua dekade kata itu mengalami "peledakan wacana" seolah-olah anak kandung Islam. Pada pertengahan 1990-an, Budiman Sudjatmiko, Nezar Patria, dan Desmon J Mahesa adalah pemuda radikal yang berhasrat mengubah "konstitusi ala Orde Baru". Mereka kelompok kiri, bukan religius. Sekarang, mereka menjadi moderat, tenang, dan realistis dengan kondisi politik nasional.
Teror Thamrin dan teror-teror lain harus dimaknai secara kritis dan proporsional. Sebagian besar teror—seperti kesimpulan konferensi internasional Radikalisasi dan Deradikalisasi di Goethe Institute Jakarta, 24-26 November 2015—tidak berhubungan dengan ideologi agama (Islam), tetapi masalah psikologi melihat dunia. Radikalisme bersemi menjadi terorisme ketika kesumpekan politik global turun ke konteks nasional, tanpa pernah direvisi akar masalahnya.
Makanya, konteks gerakan deradikalisasi harus diubah, dari pendekatan ideologis-represif ala negara kepada pendekatan psikologi dan remediasi, termasuk kepada mereka yang mendadak menjadi "pelaku" karena terisap oleh jaringan terorisme. Bisa jadi sebagian besar mereka hanya korban, bukan pelaku sungguhan. Mereka terseret situasi tak tentu dan mati tanpa tujuan.
Teuku Kemal Fasya
Dewan Pakar NU Aceh; Mengajar Antropolinguistik di Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Terorisme dan Semiotika Sewenang-wenang".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.