Keempat, bom ini didalangi oleh Bahrun Naim. Padahal, sebelumnya muara kesimpulan mengarah ke Aman Aburrahman yang sedang dipenjara di Nusakambangan. Bahkan satu jam thriller muncul di televisi, beberapa pengamat teroris hakul yakin otaknya adalah kelompok teroris Poso, Santoso.
Secara linguistik, kesimpulan ini berada dalam turbulensi wacana transit, hadir dari proses simulacra ketika teks riilnya masih tersembunyi entah di mana. Wacana itu dihadirkan untuk menenangkan publik yang berhasrat pada kebenaran, tetapi tontonan telah usai. Roland Barthes (dalam Jonathan Culler, 2003: 105) menyebutkan, wacana seperti itu hadir untuk "beristirahat karena kelelahan" (respireer À vos pieds).
Dalam tradisi kritisisme lama—dan negara masih menggunakannya—hal itu diterima begitu saja (taken for granted). Namun, dalam situasi supra-informasi seperti saat ini, publik tentu memiliki alternatif untuk membaca yang terlihat dan tersirat, menilai apa yang dikatakan pejabat publik melalui pilihan kata dan gesturnya, kelantangan atau kegugupannya ketika menyampaikan situasi ini.
Kelima, teror Thamrin gagal mengonotasikan pesan. Alih-alih menjadi takut, masyarakat sekitar malah menjadikannya tontonan gratis. Dua jam setelah kejadian, penjual sate, tukang kopi keliling, dan penjual kacang rebus mendapatkan "berkah" dari ekses teror itu. Parole "bom" dan langue "ketakutan" gagal menjadi wacana, lebih banyak menjadi hiburan bahkan pusat turisme dadakan.
Radikalisme Islam
Pada beberapa bagiannya, tragedi Thamrin menjadi wacana yang tidak tegak-lurus. Sempat muncul kesimpulan ini berhubungan dengan kelompok radikal Islam. Kesimpulan itu bertautan dengan "selip lidah" tokoh intelijen dua tahun lalu, bahwa pesantren menjadi sarang perekrutan teroris.