Penilaian atas kecenderungan pribadi Presiden Jokowi itu, misalnya, dikemukakan Lowy Institute for International Policy, lembaga think tank Australia. Sejak masa awal pemerintahan Presiden Jokowi, Lowy Institute dalam analisis tulisan Aaron L Connelly (Oktober 2014) menyatakan, Jokowi tidak memiliki visi kuat dan solid tentang tempat dan posisi Indonesia di kancah internasional. Jokowi juga tidak memiliki semangat khusus yang bernyala-nyala (passion) dalam soal ini.
Dalam konteks itu, keputusan Presiden Jokowi mengirim utusan khusus dalam upaya meredakan ketegangan antara Arab Saudi dan Iran—"musuh bebuyutan" sejak awal dasawarsa 1980-an—patut mendapat apresiasi dan dukungan. Kebijakan ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia—dalam istilah hubungan internasional—to punch its weight, "memukul", atau memainkan peran sesuai dengan bobotnya (yang besar).
Indonesia memang belum menjadi negara adidaya sekelas Amerika Serikat atau kini juga Tiongkok. Namun, Indonesia bersama Jepang, Korea Selatan, dan India telah diakui banyak negara lain dan para analis sebagai middle power, kekuatan menengah, yang memiliki peran penting sebagai "pengimbang" di tengah persaingan kian meningkat di antara AS beserta sekutunya dan Tiongkok (dan Rusia) bersama negara pendukungnya (Melissen & Sohn, eds, Understanding Public Diplomacy in East Asia: Middle Powers in a Troubled Region, 2015).
Tidak kurang pentingnya, negara kekuatan menengah memiliki posisi strategis sebagai kekuatan penengah atau mediator konflik yang terjadi di antara negara-negara tertentu di tingkat regional, apakah di kawasan Asia Pasifik, Asia Selatan, ataupun di Timur Tengah—seperti kini tengah membara antara Arab Saudi dan Iran.
Sejauh menyangkut konflik Arab Saudi versus Iran, Indonesia sebagai middle power memiliki "keunggulan" dan leverage (daya tekan) lebih dibandingkan kekuatan adidaya semacam AS atau Uni Eropa atau Tiongkok atau negara kekuatan menengah lain.