Oleh: Hasbullah Thabrany
JAKARTA, KOMPAS - Tidak jelas apakah Presiden Joko Widodo menyadari risiko masa depan dari investasi industri rokok sekarang.
Sekembalinya Presiden Jokowi berkunjung ke Amerika bulan lalu, Sekretariat Negara dalam lamannya merilis komitmen investasi lebih dari 15 miliar dollar AS. Yang menarik adalah di situ termasuk investasi 1,9 miliar dollar AS (lebih dari Rp 25 triliun) Philip Morris, sebuah industri rokok.
Kini Philip Morris menguasai lebih dari 30 persen pangsa pasar rokok yang bernilai lebih dari Rp 300 triliun setahun.
Sebelum keberangkatan Presiden, isu tentang itu sudah beredar. Para penggiat pengendali rokok melihat investasi Philip Morris akan menjadi beban biaya kesehatan dan kerusakan generasi muda masa depan.
Kedekatan Istana dengan industri rokok sesungguhnya bukan hal baru. Di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto biasa membagikan dua kotak rokok kepada tamu atau undangan rapat di Istana.
Dari semua presiden yang pernah memimpin negeri ini, hanya Presiden Habibie yang memiliki keberpihakan kendali rokok yang jelas.
Pemahaman risiko masa depan
Sesungguhnya pemimpin dunia telah memahami bahwa konsumsi rokok berisiko bagi kesehatan dan produktivitas bangsa di masa depan. Kerugian ekonomis konsumsi rokok berkali-kali lipat dari penerimaan cukai negara.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis data di Indonesia paling sedikit 500 orang mati setiap hari akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Kementerian Kesehatan mengungkap kerugian ekonomis akibat rokok mencapai lebih dari Rp 370 triliun pada tahun 2012.
Apakah investasi Philip Morris tak menambah kematian dan kerugian negara di masa depan? Tak mudah meyakinkan dan mewujudkan keyakinan menjadi kebijakan.
Masalahnya, efek asap rokok tidak kasatmata dan tak masif seperti efek asap kebakaran hutan. Publik pun tak mudah merasakan dampak buruk asap rokok.
Ada kekhawatiran bahwa investasi Philip Morris lebih banyak menguntungkan investor asing sekarang dan menyisakan risiko besar bangsa di kemudian hari.
Tidak jelas apakah Presiden Jokowi memahami masalah rokok dan risiko masa depan tersebut. Bisa jadi beliau memahami risiko di masa depan, tetapi beliau bersikap masa depan adalah urusan presiden nanti. Urusan sekarang adalah mendapat investasi sesuai target.
Bisa jadi beliau tidak tahu-menahu tentang investasi Philip Morris ini, tetapi tim investasi dan tim industrilah yang memutuskan.
Kementerian Perindustrian telah mengubah rencana produksi rokok dari 260 miliar batang di tahun 2015 menjadi hampir 400 miliar batang dan menargetkan produksi sampai 500 miliar batang.
Jika produksi itu untuk dalam negeri, artinya setiap orang Indonesia, termasuk bayi baru lahir, harus dipengaruhi agar merokok sampai sekitar 2.000 batang rokok. Jika hal ini benar, tim investasi menjerumuskan Presiden.
Di lain pihak, Kementerian Kesehatan dan komitmen dunia dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditandatangani Wapres Jusuf Kalla justru menargetkan penurunan konsumsi rokok.
Bisa jadi Presiden tahu dan sadar akan risiko masa depan, tetapi Presiden tak mampu mencari industri lain yang menyehatkan rakyat yang mau berinvestasi.
Karena itu, pilihan berisiko diambil. Jika hal ini benar, keberpihakan Presiden kepada rakyat banyak yang menjadi ikon dirinya merupakan kosmetik belaka.