Empat dimensi kekuasaan
Sejak Robert H Dahl menggulirkan definisi mengenai kekuasaan, wacana tentangnya berkembang. Dahl menjelaskan, A memiliki kekuasaan atas B apabila A dapat memengaruhi B untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tak dikehendaki B. Dalam Concise Dictionary of Politics, McLean dan McMillan (2003) memperjelas bahwa A punya pengaruh atas pilihan dan tindakan B, selain A memiliki kapasitas menggerakkan pilihan dan langkah B, sekaligus dalam mengesampingkan perlawanan B. Hubungan A dan B adalah bagian dari suatu struktur sosial dan cenderung terus berlangsung.
Kekuasaan versi Dahl ini dikategorikan sebagai pandangan satu dimensi kekuasaan (one-dimensional view of power). Intinya, ia memfokuskan pengamatannya pada tingkah laku aktor politik dalam proses pengambilan keputusan terhadap berbagai isu kunci, yang memunculkan konflik aktual antar-kepentingan subyektif yang sifatnya bisa diamati. Kepentingan dilihat sebagai pilihan-pilihan kebijakan yang diungkapkan melalui partisipasi politik sehingga konflik kepentingan identik dengan konflik preferensi kebijakan.
Pandangan dua dimensi kekuasaan (two-dimensional view of power) yang dikemukakan Bachrach dan Baratz, melihat kekuasaan tidak sekadar melibatkan para pengambil keputusan, tetapi juga yang bukan pengambil keputusan. Lantas, pandangan tiga dimensi kekuasaan (three-dimensional power), sebagaimana disampaikan Lukes, melihat kekuasaan mungkin saja digunakan dalam situasi konflik potensial atau laten. Lukes berpendapat penggunaan kekuasaan adalah suatu fungsi dari kekuatan kolektif dan pengaturan sosial.
Selanjutnya, pandangan dimensi keempat kekuasaan (four-dimensional view of power), sebagaimana disampaikan Isaac dan Benton, melihat kekuasaan pada individu sebagai bagian dari produk lingkungan sosialnya. Karena itu, analisis kekuasaan dan kepentingan tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial di mana aktor-aktor tersebut terlibat dan berpartisipasi. Kekuasaan dimiliki dan digunakan oleh masing-masing sebagai individu, tetapi oleh orang dalam kapasitasnya sebagai yang memiliki posisi dan peranan tertentu dalam masyarakatnya.
Pandangan-pandangan tersebut saling melengkapi. Kekuasaan itu, meminjam Daniel Dhakidae (2015), "Begitu nyata, sekaligus juga begitu misterius". Dimensi kekuasaan mengaitkannya dengan kebijakan dan tanggung jawab sosial. Apakah kekuasaan itu tampak atau misterius, kalau sudah menyangkut kebijakan, urusannya publik dirugikan atau tidak baik jangka pendek atau panjang.