Transaksi jual-beli suara yang ketahuan dan terungkap ke permukaan pada Pemilu 2014, apalagi yang tak ketahuan, menunjukkan praktik ini merupakan produk dari sistem daripada produk tingkah laku menyimpang dari sejumlah orang.
Ketiga kelemahan ini akan dapat diatasi dalam Kitab Hukum Pemilu dengan menawarkan sistem pemilu proporsional yang lebih sederhana baik dalam tata cara pemberian suara maupun rekapitulasi hasil penghitungan suara, tetapi tanpa insentif untuk transaksi jual-beli suara pada siapa pun.
Keenam, sistem pemilu proporsional terbuka dari segi akibat yang ditimbulkan oleh setiap unsur sistem pemilu mengandung enam kontradiksi.
Akibat kontradiksi ini tujuan yang hendak dicapai oleh satu unsur sistem pemilu digagalkan pencapaiannya oleh konsekuensi unsur sistem pemilu lainnya. Berikut kontradiksi itu.
Pola pencalonan berdasarkan nomor urut calon (daftar partai), tetapi penetapan calon terpilih dilakukan berdasarkan "suara terbanyak".
Jumlah partai di DPR hendak dikurangi dengan menaikkan ambang- batas perwakilan menjadi 3,5 persen. Namun, terdapat tiga unsur sistem pemilu yang justru mempermudah partai memperoleh kursi, seperti jumlah kursi yang diperebutkan di setiap dapil DPR berkisar 6-10 kursi, penggunaan metode kuota dan the largest reminding dalam membagi kursi setiap dapil kepada partai, dan pemilu anggota DPR dilaksanakan terpisah selang waktu tiga bulan dari pemilu presiden.
Ketujuh, sistem pemilu proporsional terbuka ternyata menghasilkan demokrasi defisit.
Parpol lebih banyak tampil sebagai sumber persoalan daripada sumber solusi: parpol dikelola secara oligarkis, bahkan personalistik; pengeluaran partai lebih banyak daripada penerimaan resmi, tetapi pengeluaran tak berkaitan dengan fungsi utama parpol; parpol lebih banyak diwarnai ideologi sebagai tontonan (tanda gambar, warna, alat peraga, jargon, dan tokoh) daripada ideologi sebagai tuntunan (menuntun perumusan kebijakan publik); dan partai lebih berorientasi pada mencari dan mempertahankan kekuasaan daripada menyiapkan calon pemimpin dan menawarkannya kepada rakyat pada pemilu.
Sistem perwakilan politik yang diadopsi "kiri OK kanan OK". Siapa yang mewakili dapil: anggota DPR dan DPRD ataukah parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan DPRD?
DPR dan DPRD cerminan keragaman penduduk (keterwakilan) ataukah anggota DPR dan DPRD yang akuntabel kepada dapil?
Bagaimana mewakili aspirasi dapil: berdasarkan visi, misi, dan program partai ataukah konsultasi dengan konstituen sebelum membuat keputusan? Jawaban atas setiap pertanyaan ini: keduanya.
Partisipasi politik warga negara jauh dari prinsip kedaulatan rakyat karena warga negara sebagai anggota partai sama sekali tak berperan, warga negara sebagai pemilih cenderung hanya tukang coblos, warga negara sebagai konstituen diperlihatkan hanya sebagai peminta sumbangan, warga negara sebagai pembayar pajak sama sekali tak berperan.
Akhirnya pemerintahan presidensial tak efektif terutama karena terlalu banyak parpol yang memiliki kursi dalam jumlah yang relatif seimbang di DPR.
Ramlan Surbakti
Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Urgensi Kodifikasi UU Pemilu".