Pasal 69 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), khususnya dalam penjelasannya, dijadikan "kambing hitam" penyebab kebakaran hutan dan lahan, dan diwacanakan untuk dikaji ulang.
Tulisan ini tidak akan mengupas substansi dari Pasal 69, khususnya penjelasan pada Ayat 2, yang berbunyi "kearifan lokal yang dimaksud adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya."
Tulisan ini untuk melihat latar belakang dari dinamika wacana yang berkembang dan kemudian upaya penggiringan wacana publik.
Pasal 69 ini "dikhawatirkan" karena dianggap menjadi basis legal bagi masyarakat untuk membakar hutan dan lahan dengan maksimal 2 hektar.
Penulis berpandangan, tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pasal ini karena dalam penjelasannya tegas "memagar" dengan ketentuan yang ketat, yakni berbasis pada kearifan lokal dan yang ditanam adalah varietas lokal.
Satu pasal, dalam hal ini penjelasannya, dijadikan sebagai justifikasi bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah masyarakat adat dan atau masyarakat lokal.
Tentu saja patut dipertanyakan karena sesungguhnya pasal lain dalam UU ini yang menjadi peluang bagi penyelenggara negara untuk menggugat kejahatan korporasi justru tidak optimal diimplementasikan.
Dari sini kita dapat menduga ada skenario pengalihan isu dari kejahatan korporasi menjadi kejahatan individu dan itu pun masyarakat atau masyarakat lokal.
Tujuannya: melindungi korporasi sebagai pelaku utama, juga penghilangan jejak korporasi dari kejahatan yang dilakukan.
Pada kasus kejahatan lingkungan hidup, skenario pengalihan isu atau pengalihan tanggung jawab dilakukan secara sistematis.
Bagaimana memengaruhi opini publik dan berujung menggiring tanggung jawabnya: mengalihkan tanggung jawab hukum kepada masyarakat adat atau masyarakat lokal.
Dalam ekologi politik, kekuasaan, pengetahuan, dan wacana dilihat sebagai sebuah keterkaitan yang dapat memengaruhi situasi dan kondisi lingkungan hidup, termasuk kebijakan.
Kekuasaan tentu bukan hanya dilihat secara politik, juga kekuasaan secara ekonomi.
Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan ini tentulah korporasi skala besar, yang bahkan mampu mengontrol kekuasaan politik.
Negara, dalam hal ini penyelenggara negara, mestinya konsisten membidik kejahatan korporasi dan fokus pada upaya penegakan hukum dengan menggunakan instrumen yang tersedia melimpah dalam UU No 32/2009 ketimbang mengotak-atik penjelasan Pasal 69 Ayat 2. Karena itu, merawat ingatan bagi publik menjadi penting untuk terus melawan kejahatan korporasi.
Khalisah Khalid
Kepala Departemen Kajian dan Penggalangan Sumber Daya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Asap dan Kejahatan Korporasi".