Tiga obyek
Melatih kader bela bangsa hanya akan efektif jika kita tahu apa obyek yang menjadi fokus bela negara. Desain program sesuai dengan obyek inilah yang seharusnya menjadi cara memilih sarana tentang bagaimana menumbuhkan semangat cinta negara.
Ada tiga obyek utama bela negara yang perlu diprioritaskan. Pertama, melunturnya semangat kebinekaan, ditandai dengan intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Kedua, hilangnya semangat patriotisme (cinta bangsa dan Tanah Air), ditandai maraknya korupsi, kebijakan ekonomi yang tak mempergunakan bumi, air, dan tanah demi kepentingan rakyat; serta wacana pendekatan kenegaraan dalam bingkai/terminologi agama, bukan Pancasila sebagai dasar kehidupan bernegara. Ketiga, adanya ketidakadilan sosial yang berujung pada pembodohan, pemiskinan, penggusuran, dan pelecehan hukum.
Tiga hal ini pada gilirannya akan memunculkan kerusakan tatanan ekosistem sosial, budaya, dan ekonomi yang mengganggu kelestarian lingkungan alam.
Program bela negara tak efektif bila model pelatihan bela negara bersifat militeristik dan kilat. Pelatihan satu bulan ala militer jelas tak akan mampu mengatasi tiga tantangan besar tersebut. Tiga tantangan besar ini hanya mungkin diatasi jika terjadi proses pendidikan warga negara sejak dini secara berkesinambungan sehingga, selepas pendidikan formal, negara melahirkan individu yang memiliki rasa cinta dan kesediaan membela bangsa dan negara secara benar.
Lunturnya semangat kebinekaan hanya bisa diselesaikan bila sejak dini di dalam keluarga setiap anak Indonesia memiliki pengalaman apa artinya menjadi sahabat dan saudara dari mereka yang berbeda latar belakang agama, keyakinan, dan kepercayaan. Apabila pendidikan kita mampu memfasilitasi proses berpengalaman individu dalam perjumpaan dengan liyan yang berbeda agama, keyakinan, dan kepercayaan, niscaya pada masa depan kita akan memiliki warga negara yang toleran, ramah, santun, bersahabat, dan mampu bekerja sama dengan orang lain.
Hilangnya semangat patriotisme terjadi ketika seseorang lebih mengutamakan ikatan primordial berdasarkan agama, kepercayaan, dan keyakinan ketimbang ikatan historis sebagai sebuah bangsa yang dianugerahi kekayaan perbedaan etnis, suku, dan agama. Banyaknya peraturan daerah yang mendasarkan diri pada pengarusutamaan ajaran agama tertentu hanya akan melahirkan pengalaman diskriminatif bagi warga negara lain, yang semakin menjauhkan dari cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlebih apabila identitas agama lebih kuat ketimbang identitas historis sebagai bangsa di bawah naungan Pancasila, maka akan mudahlah orang untuk berpaling mengganti identitas negara dari negara satu ke negara lain karena ikatan primordial agama lebih mengemuka.