Pengajar Sosiologi Komunikasi di Universitas Diponegoro Semarang, Triyono Lukmantoro, mengatakan, seharusnya setahun setelah pilpres, masyarakat menjadi lebih dewasa dalam berdemokrasi di dunia maya. Diskusi di media sosial, baik pihak yang pro maupun kontra kepada pemerintahan terpilih, seharusnya berdasar pada rasionalitas kritis. Artinya, penilaian terhadap kinerja pemerintah didasarkan pada logika, bukan sekadar berdasar suka atau tidak suka.
"Media sosial itu bukan sekadar ruang berekspresi, tetapi diandaikan sebagai ruang publik. Di ruang publik, seseorang berkata-kata, mencerna, menggunakan rasionalitas. Sekarang yang kerap muncul sekadar saling mencela, saling serang antara pendukung yang pro dan yang kontra," kata Triyono.
Polarisasi dukungan
Media sosial telah menyediakan ruang-ruang publik di dunia maya untuk mendiskusikan berbagai hal, termasuk politik. Media sosial, menurut Jae Kook Lee dan kawan-kawannya (2014) dalam Social Media, Network Heterogeneity, and Opinion Polarization, membuat orang bisa dengan bebas tanpa sekat waktu dan ruang "terpapar" pandangan yang berbeda. Informasi yang berbeda membuat seseorang menjadi lebih toleran dalam menerima perbedaan pandangan.
Namun, di sisi lain, muncul pula kekhawatiran media sosial justru menghasilkan masyarakat yang kian terpecah-pecah akibat polarisasi pandangan di dunia maya. Hal ini yang sebenarnya juga sudah dikhawatirkan para peneliti media sosial dan demokrasi di negara-negara Barat.
Peter Dahlgren (2009) dalam Media and Political Engagement menyebut polarisasi itu sebagai dampak dari "cyberghettos" atau "ghetto-ghetto" siber, merujuk konsep "ghetto" di ranah offline yang bermakna perkampungan terisolasi. Di tulisan yang sama, ia juga meminjam istilah lain, yakni "kepompong informasi". Anatoliy Grudz dan Jeffrey Roy (2014) dalam Investigating Political Polarization on Twitter: A Canadian Perspective menggunakan istilah "bilik gema".