JAKARTA, KOMPAS - Pada 20 Oktober esok hari, sudah genap satu tahun Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik menjadi nakhoda negeri ini. Namun, di dunia maya, jejak-jejak "perang" dukungan semasa Pemilihan Presiden 2014 masih berakar kuat. Kini muncul kecenderungan polarisasi sikap netizen terhadap pemerintah. Akankah ini menjadi ancaman demokrasi digital di Indonesia?
Selama masa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, diskusi soal pasangan calon presiden dan calon wakil presiden berlangsung panas di media sosial. Netizen atau pengguna internet saling berbagi tautan informasi soal pasangan calon. Mereka juga bertukar komentar. Berbagai kreativitas di dunia maya yang muncul menunjukkan masyarakat aktif dalam perhelatan pilpres.
Di sisi lain, tidak jarang netizen saling meng-unfriend atau meng-unfollow akun yang punya pandangan politik berbeda. Fachri (30), warga Yogyakarta, termasuk netizen yang aktif menyebar konten calon presiden pada pilpres lalu. Tidak jarang, karyawan sebuah perusahaan ini berdebat sengit dengan teman- temannya di Facebook. Belakangan, teman-teman yang berseberangan pendapat dengannya memblok akun Fachri. Dengan demikian, mereka tak perlu melihat status-statusnya.
Irma Priyadi (35) mengalami hal serupa. Hanya saja, ibu rumah tangga yang tinggal di Bogor, Jawa Barat, ini tak ambil pusing. Dia mengaku tak mudah mengubah pandangan netizen yang sudah telanjur suka atau telanjur benci pada kandidat pasangan calon tertentu. Polarisasi dukungan tak sulit diamati karena saat itu hanya ada dua pasangan calon. Setelah pilpres, polarisasi dukungan tak kunjung surut. Diskusi di dunia maya bergeser dari awalnya siapa di antara kedua tokoh itu yang paling layak memimpin menjadi pro dan kontra terhadap sepak terjang pemerintahan Jokowi-Kalla.
Beberapa pekan jelang setahun pemerintahan Jokowi-Kalla, di media sosial, baik di Facebook maupun di Twitter, bisa dengan mudah ditemui diskusi yang kontra ataupun mendukung pemerintahan Jokowi-Kalla. Di Twitter, sejak akhir September bisa ditemui tagar seperti #JokowiGagalTotal atau #JokowiNotUs.
Dari hasil penelusuran di layanan analisis media sosial Topsy, ada 18.950 kicauan yang memuat tagar #JokowiGagalTotal. Sementara tagar #JokowiNotUs di-tweet 13.903 kali sebulan terakhir. Akun @AlfinLogaritma, misalnya, menulis "cie di abang foto sendiri di tengah kebakaran hutan. Pencitraan mulu bang. Mending turunin harga dolar sono. Jalan2 mulu#JokowiGagalTotal". Akun @Ginggar_GK menulis "dunia usaha kian menjadi sulit phk massal segera terjadi#JokowiGagalTotal".
Sebagai respons dari tagar-tagar di atas, lantas muncul tagar yang mendukung Jokowi-Kalla, seperti #MaafkanHaters dan #SupportPresidenRI. Topsy mencatat tagar #MaafkanHaters di-tweet 7.198 kali selama 16 September hingga 16 Oktober. Sementara tagar #SupportPresidenRI dikicau 40.222 kali. Akun @FrontalSob, misalnya, berkicau, "ketika makian dibalas dengan memaafkan. Keren lah #MaafkanHaters". Akun @Dicky_Pandawa menulis, "mereka yang menghina, mereka yang membuat medianya, mereka sendiri yang percaya.#MaafkanHaters".