"Kepentingan kita untuk buka info ke publik seluas-luasnya agar kita merebut panggung informasi supaya info yang sembarangan itu tidak mendominasi arena. Adalah kewajiban kita untuk ikut masuk info ke publik," ujar Pratikno, dalam sebuah seminar dalam rangka "Right To Know Day 2015" di Kementerian Sekretariat Negara, Senin (28/9/2015).
Tepat pada hari ini, dunia internasional merayakan Hari Berhak Tahu sebagai salah satu gerakan untuk menumbuhkan kesadaran perlunya akses keterbukaan informasi dari pemerintah terkait berbagai hal. Di hadapan para pengurus Komisi Informasi Pusat dan Daerah serta kementerian dan lembaga negara, Pratikno mengungkapkan saat ini dunia digital membuat banyak informasi tak terkontrol.
Dia mencontohkan soal tragedi Mina. Awalnya, pihak Istana baru mendapat konfirmasi soal adanya dua jenazah warga negara Indonesia. Namun, tak lama kemudian, muncul di media sosial bahwa jumlah korban WNI mencapai 52 orang.
"Mungkin kita semua berharap negara kontrol, tapi negara punya keterbatasan dan risiko mengontrol besar karena sosmed memberikan ruang demokrasi tapi di dalamnya ada anarki juga. Jangan kita berdiam diri, begitu kita berdiam diri maka info publik diisi oleh info yang tidak terverifikasi," ungkap Pratikno.
Selain untuk meluruskan kesimpangsiuran informasi, Pratikno mengatakan keterbukaan informasi adalah untuk mendapatkan dukungan publik. Dengan memberitahukan soal proses pembuatan kebijakan dan kerja pemerintag, sebut dia, maka masyaraka akan tahu betapa sulitnya kerja pemerintah.
"Kalau tidak sampaikan keinginan kita, bahwa tenaga terbatas, masyarakat tidak akan menaruh simpati, tidak akan memahami bertapa sulitnya mengelola lembaga publik," kata mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.