Konsepnya sederhana: kurangi deforestasi, rawat tegakan yang masih utuh, kelola pengusahaan secara lestari, tambahkan aset hayati di lahan yang kadung rusak. Meski sederhana, tetap harus diimbangi analisis komprehensif dan pelibatan multipihak, termasuk para pihak yang sudah terikat secara kontraktual untuk melaksanakan pengelolaan lahan. Mayoritas dari pihak yang disebut terakhir itu adalah mereka, para pengusaha kelapa sawit, yang setelah gelombang besar pengusahaan kayu-pulp-kertas bertransformasi ke gelombang bisnis berikutnya melalui pemasifan deforestasi.
Pemerintah telah banyak menginisiasi sejumlah prakarsa atau kampanye, seperti penegakan hukum yang lebih serius, penetapan kebijakan (misal: moratorium izin baru), serta peningkatan disiplin data (misal: menggelindingkan ”bola salju” gerakan One Map dan Open Government). Ikhtiar-ikhtiar itu menggema di banyak ruang, seperti diplomasi internasional, wacana masyarakat adat dan penggerak lingkungan, riset akademik, hingga di rapat-rapat direksi perusahaan swasta.
Dari sisi para aktor raksasa bisnis berbasis lahan, niat kuat pemerintah ini mulai ditangkap. Apalagi, realitas pasar pun memberikan tekanan yang kongruen. Kombinasi keduanya melahirkan tekad yang dituangkan ke dalam, atau sebagai, komitmen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP).
Dengan adanya IPOP, koridor kerja sama pemerintah-swasta dalam rangka mereduksi deforestasi telah mulai terbentuk. Namun, menjadi cukup mengejutkan saat ada pejabat yang mengatasnamakan pemerintah memublikasikan pernyataan resmi, yang intinya menolak komitmen IPOP, bahkan menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara (The Jakarta Post, 29/8/2015).
Negara yang menakhodai
Adagium "pemerintah mengatur, swasta menjalankan" selayaknya tetap diteguhi. Tak mudah mengimplementasikan IPOP. Pada satu sisi, perusahaan pembuat komitmen memiliki struktur yang tak kalah birokratis dibandingkan birokrasi pemerintah. Sebab, tingkat keleluasaan bertindak di sekujur hierarki operasionalnya beragam.
Di sisi lain, komitmen dapat memengaruhi tata kelola dan tata keuangan para pemasok, termasuk para pekebun kecil. Implementasi yang realistis memerlukan proses transisi agar tujuannya tercapai. Di sinilah, lewat struktur birokrasinya, peran pemerintah perlu lebih jelas, bijak, dan tegas dalam memoderasi.
Peran pemerintah itu kunci. Dia serupa wasit dan fasilitator. Sebagai wasit yang harus berdaya, pemerintah harus memahami serta menguasai kebutuhan dan proses transisi termaksud, bukannya jadi kepanjangan tangan perusahaan dan memaksakan kehendak mereka kepada pemangku kepentingan yang lebih lemah. Sebaliknya, pemerintah juga bukan jadi pendukung fanatik si lemah yang berakibat pada terguncangnya niat baik yang disepakati di tingkat tertinggi oleh keraguan-keraguan.