JAKARTA, KOMPAS.com — Usulan kenaikan tunjangan bagi anggota DPR tak pernah diketok secara bulat saat pembahasan oleh Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dan Sekretariat Jenderal DPR. Fraksi Partai Nasdem mengaku sempat menolak kenaikan tunjangan itu, tetapi kalah suara dari fraksi-fraksi lainnya.
"Akhirnya, kami tidak ikut mengajukan. Pada waktu itu, kita absen melihat situasinya seperti itu. Keputusannya tidak bulat," kata anggota Fraksi Nasdem di BURT, Irma Suryani, kepada Kompas.com, Selasa (22/9/2015).
Irma mengungkapkan, rapat pembahasan tunjangan ini berlangsung sekitar bulan Februari hingga Maret 2015. Usulan diajukan oleh sejumlah fraksi dan disetujui oleh semua fraksi lainnya, kecuali Partai Nasdem. Argumennya adalah tunjangan DPR yang tidak pernah naik sejak tahun 2003.
"Malah ada dua fraksi yang mengusulkan agar gaji dan tunjangan mereka tidak kena pajak. Jelas kami menolak," ucap anggota Komisi IX DPR ini. (Baca: "Tunjangan Anggota DPR Sudah Disetujui Pemerintah, Ngapain Dipersoalkan?")
Irma enggan mengungkapkan fraksi mana yang pada awalnya mengusulkan kenaikan tunjangan. Namun, dia menilai, andil terhadap kenaikan tunjangan ada pada pimpinan BURT yang dipimpin oleh lima orang.
BURT diketuai Roem Kono dari Partai Golkar dan empat wakilnya adalah Agung Budi Santoso (Partai Demokrat), Novita Wijayanti (Partai Gerindra), A Dimyati Natakusuma (Partai Persatuan Pembangunan), dan Elva Hartati (PDI Perjuangan). (Baca: Jokowi: Ekonomi Melambat kayak "Gini", Malu Bicara Gaji dan Tunjangan)
"Kalau ada yang mengusulkan, persetujuannya dari para pimpinan itu," ucap Irma.
Usai diketok oleh kesekjenan dan BURT, usulan kenaikan tunjangan itu diajukan kepada pemerintah. Sayangnya, lanjut Irma, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menyetujui usulan kenaikan tunjangan ini meski jumlahnya tak sebesar yang diusulkan DPR.
"Kemenkeu harus sensitif. Kalau hal yang tidak penting harusnya jangan disetujui," ucapnya. (Baca: Fraksi Gerindra Minta Menkeu Revisi SK Kenaikan Tunjangan Anggota DPR)
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan bahwa surat Kementerian Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015 hanya menyetujui batas maksimal yang bisa digunakan DPR untuk menaikkan tunjangannya. Jika memang kini mayoritas anggota dan fraksi di DPR tidak menyetujui kenaikan tunjangan tersebut, DPR cukup tak perlu menggunakan surat tersebut.
"SK itu cuma penentu batas maksimal kenaikan. Terserah di DPR mau dipakai atau enggak. Naik atau enggak, pengguna anggaran yang menentukan," ucapnya.
Berikut kenaikan tunjangan yang diusulkan DPR dan tunjangan yang disetujui Kemenkeu, seperti dikutip harian Kompas:
1. Tunjangan kehormatan
a) Ketua badan/komisi: DPR mengusulkan Rp 11.150.000, hanya disetujui Rp 6.690.000.
b) Wakil ketua: DPR mengusulkan Rp 10.750.000, hanya disetujui Rp 6.460.000.
c) Anggota: DPR mengusulkan Rp 9.300.000, hanya disetujui Rp 5.580.000.
2. Tunjangan komunikasi intensif
a) Ketua badan/komisi: DPR mengusulkan Rp 18.710.000, hanya disetujui Rp 16.468.000.
b) Wakil ketua: DPR mengusulkan Rp 18.192.000, hanya disetujui Rp 16.009.000.
c) Anggota: DPR mengusulkan Rp 17.675.000, hanya disetujui Rp 15.554.000.
3. Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan
a) Ketua komisi/badan: DPR mengusulkan Rp 7.000.000, hanya disetujui Rp 5.250.000.
b) Wakil ketua komisi/badan: DPR mengusulkan Rp 6.000.000, hanya disetujui Rp 4.500.000. c) Anggota: DPR mengusulkan Rp 5.000.000, hanya disetujui Rp 3.750.000.
4. Bantuan langganan listrik dan telepon
DPR mengusulkan Rp 11.000.000, hanya disetujui Rp 7.700.000.