Kita mengemukakannya untuk mengingatkan seluruh bangsa kita bahwa arah kemerdekaan kita sudah berputar sejak Orde Baru dan menjadi tak menentu sejak Era "Reformasi". Dalam pemahaman makna kemerdekaan seperti diutarakan di atas, bangsa kita telah berusaha menegakkan "Kemerdekaan Keutamaan" dari periode 1945-1959; terus menegakkannya pada periode 1958-1965 kendati sudah mulai melenceng; dan berbalik arah untuk menjalankan "Kemerdekaan Kepalsuan" katakanlah sejak 1971 hingga kini. Maka, singkatnya, kita mengemukakan hal ini untuk menanamkan kembali ketegaran moralitas politik bangsa kita dalam sinar kemerdekaan sejati.
Demi penjernihan makna kemerdekaan sebagai momen keutamaan, suatu kristalisasi politik dan kristalisasi fungsi cabang-cabang pemerintahan sangat dibutuhkan oleh bangsa kita saat ini. Akan tetapi, di tengah somnambulisme politik kristalisasi dua sisi itu sama sekali belum terlihat dan yang berlaku justru adalah kebalikannya.
Lembaga-lembaga peradilan terus menoleransi praktik hukum yang justru menghilangkan kepastian hukum dan dari situ juga kepastian keadilan. Ini mencakup niat untuk melaksanakan rekonsiliasi politik nasional tanpa pengungkapan kebenaran—suatu niat yang tentu nonsense. Lembaga legislatif pusat masih terus berkutat dengan proyek-proyek raksasa yang "nol urgensi, konyol rasionalitas, dan merampas dana publik". Pimpinan lembaga eksekutif baru yang berniat melaksanakan Nawacita—yang memang sejalan dengan ideal-ideal Republik kita—tetap minus ketegasan (decisiveness). Sudah pasti itu semua sungguh berada di luar jalan "Kemerdekaan Keutamaan".
Mochtar Pabottingi
Profesor Riset LIPI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Kemerdekaan Keutamaan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.