Kenyataan ini seyogianya menyadarkan kita bahwa "kemerdekaan" tak boleh diterima sebagai ihwal sudah dan sekali jadi pada saat "proklamasi", melainkan sesuatu yang harus terus-menerus dicanangkan dan diperjuangkan. Sebab, kuku-kuku dan taring-taring penjajahan tetap tiada henti menerobos bangsa dan Tanah Air kita, baik dalam bentuk asli maupun dalam bentuk jejadiannya.
Pergerakan kemerdekaan kita lahir dalam kerangka tekad untuk memberikan keadilan kepada segenap warga Indonesia. "Suatu konsepsi politik efektif perihal keadilan," tulis Rawls, "mencakup pemahaman politik atas apa yang secara publik diakui sebagai rangkaian kebutuhan niscaya yang akan menyejahterakan segenap warga negara."
Prinsip keadilan politik pada skala ultimat memayungi himpunan keutamaan politik, yaitu apa yang disebut Rawls "primary goods". Begitulah Bung Hatta mengutip Guizot (1787-1874), negarawan-sejarawan Perancis, bahwa "Ada naluri kebenaran dan keadilan yang hidup di dasar tiap jiwa manusia". Suatu kutipan yang bagi saya menggemakan satu ayat Kitab Suci bahwa pada kalbu setiap manusia Tuhan meletakkan neraca keadilan.
Menjurus pada kenistaan
Dalam rangka peringatan ulang tahun ke-70 dari kemerdekaan kita, pertanyaan sentral yang wajib diajukan adalah mengapa di sepanjang era Reformasi bangsa kita—terutama para penguasa—justru terasa makin menjauh dari "kemerdekaan keutamaan" dan lebih menjurus kepada "kemerdekaan kenistaan"?
Pada suatu acara sosial baru-baru ini, seorang perempuan aktivis pendidikan bertanya kepada saya, "Tolong jelaskan, bagaimana seorang mantan narapidana masih bisa maju sebagai calon kepala daerah?" Bagi saya, ini senada dengan pertanyaan-pertanyaan, "Mengapa begitu sulit mencari figur teladan di kalangan partai politik, apalagi di parlemen?" Atau "Apa gerangan penyebab berketerusannya pembusukan hukum di Indonesia?" Atau "Mengapa krisis moralitas atau krisis multidimensi di negeri kita masih terus menyungkup kita, padahal pemerintahan sudah berganti beberapa kali?"
Untuk semua pertanyaan ini, sulit mengelakkan suatu jawaban causa prima. Dan, itu pula yang saya sampaikan kepada sang aktivis pendidikan, "Karena setelah Presiden Soeharto lengser dan Orde Baru formal berakhir, tak satu pun di antara penguasa, apalagi pentolan utamanya, yang diadili sebagaimana mestinya. Padahal, alangkah masif laku korupsi dan kezaliman, bahkan pengkhianatan terbuka terhadap ideal-ideal Pancasila di Tanah Air di sepanjang 32 tahun rentang kuasa Orde Baru.
Pergantian rezim dalam arti sesungguhnya tak pernah terjadi pada periode 1998-2001. Itulah akar tunjang dari segala keburukan dan kenistaan dalam praktik kita bernegara selama tujuh belas tahun terakhir. Ini adalah kenyataan telanjang yang hendak terus kita tutup-tutupi dengan "siasat burung onta" dan dengan bayaran yang terus menggunung.