Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukum Menghina Presiden

Kompas.com - 14/08/2015, 15:00 WIB

Oleh: Moh Mahfud MD

JAKARTA, KOMPAS - Banyak yang kaget ketika diberitakan pemerintah memasukkan kembali pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru.

Berita itu muncul setelah pada 6 Juli 2015 Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyampaikan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) baru, yang di dalamnya memuat dua pasal tentang ancaman pidana serius bagi setiap orang yang menghina Presiden atau Wakil Presiden.

MK membatalkan

Berita itu mengagetkan karena pasal-pasal tentang penghinaan kepada Presiden atau Wakil Presiden telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan Nomor 013 dan 022/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin Jimly Asshiddiqie menyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tiga pasal yang terkait dengan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, yakni Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.

Pasal 134 berisi ancaman pidana paling lama enam tahun penjara atau denda paling tinggi Rp 4.500 bagi mereka yang dengan sengaja menghina Presiden atau Wakil Presiden. Pasal 136 bis berisi cara menyatakan penghinaan terkait dengan pihak-pihak yang hadir dalam melakukan penghinaan tersebut.

Pasal 137 berisi cara menyiarkan tulisan atau gambar penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden agar diketahui atau lebih diketahui oleh umum dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda maksimal Rp 4.500. Mahkamah Konstitusi membatalkan ketiga pasal tersebut dengan alasan ketiganya tidak memberi kepastian hukum sebagaimana diharuskan oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945.

Menurut Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal tersebut bisa menjerat orang yang mungkin tidak bermaksud menghina Presiden, tetapi hanya menggunakan hak konstitusional biasa, seperti melakukan protes, membuat pernyataan, mengemukakan pemikiran, atau menyampaikan kritik. Pasal-pasal tersebut berpotensi dipergunakan seenaknya oleh penguasa untuk membungkam suara rakyat dalam menggunakan hak konstitusionalnya.

Mahkamah Konstitusi juga menganggap ketiga pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (2) dan Ayat (3) UUD NRI 1945. Bahkan, menurut Mahkamah Konstitusi, ketiga "pasal karet" itu tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 7A UUD NRI 1945. Seperti diketahui, menurut Pasal 7A UUD, Presiden bisa didakwa untuk proses pemakzulan melalui pernyataan pendapat oleh DPR jika melakukan pelanggaran hukum berupa penyuapan, korupsi, pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak pidana berat, dan perbuatan tercela.

Dengan berlakunya pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, bisa saja orang yang mengungkap indikasi, mengemukakan kesaksian, atau menyatakan pendapat dalam hal-hal yang diatur di dalam Pasal 7A tersebut diajukan ke pengadilan pidana dengan dakwaan menghina Presiden atau Wakil Presiden.

Menurut Mahkamah Konstitusi, dengan pencabutan atas pasal-pasal tersebut, penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden bisa menggunakan KUHP Pasal 310 (pencemaran terhadap orang biasa) dan Pasal 207 (pencemaran terhadap penguasa pada umumnya) yang hukumannya relatif ringan.

RUU menghidupkan

Menjadi wajar kalau banyak yang kaget ketika pemerintah memasukkan kembali di dalam RUU KUHP pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden di dalam RUU KUHP yang baru itu, seperti bisa dibaca dari Pasal 263 dan Pasal 264, tidak hanya memuat substansi yang sama dengan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi, lebih dari itu, memuat cakupan cara penghinaan yang lebih luas.

Kalau pada KUHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam menyiarkan penghinaan hanya mencakup mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, di dalam RUU KUHP yang baru ini dimasukkan juga kegiatan "memperdengarkan rekaman". Tak terbantahkan, dalam pengertian yang demikian bisa termasuk penyiaran sebagai berita oleh media elektronik tentang terjadinya penghinaan kepada Presiden. Itulah sebabnya, banyak yang menilai upaya menghidupkan kembali pasal-pasal karet tersebut menjadi ancaman terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia.

Sebenarnya penuangan kembali pasal-pasal itu semula bukan diajukan oleh pemerintahan Joko Widodo, melainkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Maret 2013. Namun, karena RUU tersebut tak bisa dibahas pada era Presiden SBY, maka sesuai dengan mekanisme pembentukan UU, jika sebuah RUU tak bisa diselesaikan pada satu periode yang sama dengan pengajuannya, RUU tersebut harus diproses atau diajukan kembali oleh pemerintah yang baru. RUU era SBY itulah yang diajukan kembali oleh pemerintah sekarang ini.

Problem konstitusional

Problem konstitusional serius yang kemudian muncul dalam kaitan ini adalah adanya ketentuan menurut Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, harus dilaksanakan tanpa bisa dilawan dengan upaya hukum. Bisakah UU menghidupkan lagi ketentuan yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi? Bagaimana kalau, setelah ditetapkan, kelak dibatalkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi? Apa tidak sebaiknya pembentuk UU mengeluarkan pasal-pasal tersebut dari RUU KUHP baru?

Akan tetapi, pada sisi lain, kita juga tidak ingin ada orang yang seenaknya melakukan penghinaan kepada Presiden atau Wakil Presiden atas nama demokrasi dan hak konstitusional. Kita geram saat melihat penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden secara sarkastis dan kotor.

Dilema antara putusan Mahkamah Konstitusi dan kebrutalan politik inilah yang harus kita diskusikan secara mendalam untuk menemukan jalan keluar.

Moh Mahfud MD
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Hukum Menghina Presiden".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polisi Temukan Bahan Peledak Saat Tangkap Terduga Teroris di Karawang

Polisi Temukan Bahan Peledak Saat Tangkap Terduga Teroris di Karawang

Nasional
Polisi Tangkap Satu Terduga Teroris Pendukung ISIS dalam Penggerebekan di Karawang

Polisi Tangkap Satu Terduga Teroris Pendukung ISIS dalam Penggerebekan di Karawang

Nasional
BPIP: Kristianie Paskibraka Terbaik Maluku Dicoret karena Tak Lolos Syarat Kesehatan

BPIP: Kristianie Paskibraka Terbaik Maluku Dicoret karena Tak Lolos Syarat Kesehatan

Nasional
Sekjen Tegaskan Anies Tetap Harus Ikuti Aturan Main meski Didukung PKB Jakarta Jadi Cagub

Sekjen Tegaskan Anies Tetap Harus Ikuti Aturan Main meski Didukung PKB Jakarta Jadi Cagub

Nasional
PKB Tak Resisten Jika Anies dan Kaesang Bersatu di Pilkada Jakarta

PKB Tak Resisten Jika Anies dan Kaesang Bersatu di Pilkada Jakarta

Nasional
Ditanya Soal Berpasangan dengan Kaesang, Anies: Lebih Penting Bahas Kampung Bayam

Ditanya Soal Berpasangan dengan Kaesang, Anies: Lebih Penting Bahas Kampung Bayam

Nasional
Ashabul Kahfi dan Arteria Dahlan Lakukan Klarifikasi Terkait Isu Penangkapan oleh Askar Saudi

Ashabul Kahfi dan Arteria Dahlan Lakukan Klarifikasi Terkait Isu Penangkapan oleh Askar Saudi

Nasional
Timwas Haji DPR Ingin Imigrasi Perketat Pengawasan untuk Cegah Visa Haji Ilegal

Timwas Haji DPR Ingin Imigrasi Perketat Pengawasan untuk Cegah Visa Haji Ilegal

Nasional
Selain Faktor Kemanusian, Fahira Idris Sebut Pancasila Jadi Dasar Dukungan Indonesia untuk Palestina

Selain Faktor Kemanusian, Fahira Idris Sebut Pancasila Jadi Dasar Dukungan Indonesia untuk Palestina

Nasional
Kritik Pengalihan Tambahan Kuota Haji Reguler ke ONH Plus, Timwas Haji DPR: Apa Dasar Hukumnya?

Kritik Pengalihan Tambahan Kuota Haji Reguler ke ONH Plus, Timwas Haji DPR: Apa Dasar Hukumnya?

Nasional
Pelaku Judi 'Online' Dinilai Bisa Aji Mumpung jika Dapat Bansos

Pelaku Judi "Online" Dinilai Bisa Aji Mumpung jika Dapat Bansos

Nasional
Kemenag: Pemberangkatan Selesai, 553 Kloter Jemaah Haji Indonesia Tiba di Arafah

Kemenag: Pemberangkatan Selesai, 553 Kloter Jemaah Haji Indonesia Tiba di Arafah

Nasional
Pengamat Sebut Wacana Anies-Kaesang Hanya 'Gimmick' PSI, Risikonya Besar

Pengamat Sebut Wacana Anies-Kaesang Hanya "Gimmick" PSI, Risikonya Besar

Nasional
Jelang Idul Adha 2024, Pertamina Patra Niaga Sigap Tambah Solar dan LPG 3 Kg

Jelang Idul Adha 2024, Pertamina Patra Niaga Sigap Tambah Solar dan LPG 3 Kg

Nasional
Hindari Sanksi Berat dari Pemerintah Arab Saudi, Komisi VIII Minta Jemaah Haji Nonvisa Haji Segera Pulang

Hindari Sanksi Berat dari Pemerintah Arab Saudi, Komisi VIII Minta Jemaah Haji Nonvisa Haji Segera Pulang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com