Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memudarnya Imaji Anti Korupsi

Kompas.com - 19/03/2015, 15:02 WIB

Memanjakan koruptor

Memudarnya imaji agenda pemberantasan korupsi tidak hanya dapat dilacak dari kondisi di atas, tetapi juga bisa ditelusuri dari rencana pemerintah untuk meninjau kembali aturan ihwal pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat. Rencana ini tentu saja mengulang lagi perdebatan 3-4 tahun lalu ketika terjadi obral remisi kepada narapidana korupsi. Untuk ini perlu dicatat, pengesahan PP No 99/2012 yang merupakan revisi PP No 32/1999 adalah jawaban terhadap penolakan berbagai kalangan yang concern terhadap pemberantasan korupsi ketika para koruptor berupaya mempersingkat masa pemidanaan melalui fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat.

Sekiranya hendak diletakkan pada konsep efek penjeraan (deterrence effect) dalam desain besar pemberantasan korupsi, pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tanpa pengetatan dapat dikatakan sebagai bentuk kemewahan bagi para koruptor. Padahal, dari awal proses hukum, sebagian mereka yang tersangkut korupsi mendapat kemudahan. Barangkali kemewahan sedikit berkurang jika proses penanganan kasus korupsi dilakukan KPK. Beberapa kali pernah dikemukakan, kemewahan dinikmati mereka yang tersangkut kasus korupsi bukan hanya terjadi pada bagian hilir, yaitu dengan begitu mudahnya mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, melainkan juga sampai ke tingkat hulu. Paling tidak, kasus Artalyta Suryani lebih dari cukup untuk mengurai bentangan fakta ini.

Terkait dengan ini, dalam "Pangkas Kemewahan Koruptor" (Kompas, 6/11/2011), saya kemukakan, di tingkat hulu masalah yang terjadi bukan hanya semakin masifnya vonis atau hukuman di bawah 5 tahun, melainkan juga kemewahan sejak dari proses penyidikan sampai vonis hakim. Dalam proses penyidikan, penyidik masih terbatas menahan para pelaku tindak pidana korupsi. Padahal, alasan subyektif dan obyektif telah terpenuhi untuk menahan tersangka. Bahkan, ketika menjalani hukuman, lembaga pemasyarakatan memberikan banyak kemewahan yang mungkin tidak bisa dinikmati narapidana biasa.

Di tengah kritik terhadap segala macam kemewahan ini, misalnya, pengadilan berupaya melakukan perubahan dengan berkurangnya vonis ringan. Andai terdapat hakim tingkat pertama yang memberikan hukuman ringan, hakim tingkat banding atau kasasi akan melakukan koreksi. Bahkan, perkembangan tahun-tahun terakhir, hakim sudah mulai membuat putusan yang berpotensi memiskinkan dan mencabut hak politik koruptor. Sekalipun masih dengan jumlah terbatas, perkembangan ini tetap harus dimaknai sebagai respons positif sebagian hakim dan pengadilan ihwal pentingnya efek jera dalam memberantas korupsi.

Namun, ketika pengadilan bergerak ke arah itu, pemerintah seperti memilih langkah berbeda. Sebagaimana dikhawatirkan Choky Ramadhan, gelagat mencabut pengetatan ini sudah dapat dilacak dari pemberian remisi kepada Urip Tri Gunawan, Anggodo Widjojo, Sumadi Singaribun, dan Haposan Hutagalung pada Desember 2014 (Kompas, 16/2). Ketika pemberian remisi tersebut diikuti dengan upaya merevisi PP No 99/2012, publik memiliki alasan kuat untuk curiga dengan langkah Menteri Hukum dan HAM.

Perlu dicatat, desakan melakukan pengetatan terhadap narapidana korupsi salah satunya didorong sejumlah bentangan empirik bahwa lembaga pemasyarakatan lebih banyak menjadi tempat persinggahan sementara bagi koruptor. Karena itu, langkah pengetatan ini harus ditempatkan sebagai point of no return dalam agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, sekiranya memang ingin memberikan efek jera, yang harus dipikirkan, misalnya, langkah efektif memiskinkan koruptor dan semua jejaring yang ikut menikmati hasil jarahan uang negara.

Terlepas dari semua itu, hal terpenting yang perlu disampaikan, pemerintah harus hati-hati betul dalam mengambil kebijakan yang potensial kontraproduktif dengan agenda pemberantasan korupsi. Jangan pernah gagap mendukung agenda pemberantasan korupsi, termasuk mendukung KPK. Keliru memilih langkah, publik akan semakin mudah menilai bahwa pemimpin politik semakin menjauh dari imaji anti korupsi. Bilamana pemudaran ini tak bisa dihentikan, bersiaplah menanti datangnya bola liar krisis kepercayaan publik yang antara lain dipicu memudarnya imaji anti korupsi.

Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Kamis (19/3/2015).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kasus WNI Terjerat Judi 'Online' di Kamboja Naik, RI Jajaki Kerja Sama Penanganan

Kasus WNI Terjerat Judi "Online" di Kamboja Naik, RI Jajaki Kerja Sama Penanganan

Nasional
Eks Penyidik KPK: Ponsel Hasto Tidak Akan Disita Jika Tak Ada Informasi soal Harun Masiku

Eks Penyidik KPK: Ponsel Hasto Tidak Akan Disita Jika Tak Ada Informasi soal Harun Masiku

Nasional
Soal Duet Anies-Kaesang, Relawan Anies Serahkan ke Partai Pengusung

Soal Duet Anies-Kaesang, Relawan Anies Serahkan ke Partai Pengusung

Nasional
MPR Khawatir Bansos yang Akan Diberikan ke Korban Judi Online Malah Dipakai Berjudi Lagi

MPR Khawatir Bansos yang Akan Diberikan ke Korban Judi Online Malah Dipakai Berjudi Lagi

Nasional
Eks Penyidik KPK: Kasus Harun Masiku Perkara Kelas Teri, Tapi Efeknya Dahsyat

Eks Penyidik KPK: Kasus Harun Masiku Perkara Kelas Teri, Tapi Efeknya Dahsyat

Nasional
Siapa Anggota DPR yang Diduga Main Judi Online? Ini Kata Pimpinan MKD

Siapa Anggota DPR yang Diduga Main Judi Online? Ini Kata Pimpinan MKD

Nasional
Eks Penyidik KPK Anggap Wajar Pemeriksaan Hasto Dianggap Politis, Ini Alasannya

Eks Penyidik KPK Anggap Wajar Pemeriksaan Hasto Dianggap Politis, Ini Alasannya

Nasional
Rupiah Alami Tekanan Hebat, Said Abdullah Paparkan 7 Poin yang Perkuat Kebijakan Perekonomian

Rupiah Alami Tekanan Hebat, Said Abdullah Paparkan 7 Poin yang Perkuat Kebijakan Perekonomian

Nasional
DPR Sebut Ada Indikasi Kemenag Langgar UU Karena Tambah Kuota Haji ONH Plus

DPR Sebut Ada Indikasi Kemenag Langgar UU Karena Tambah Kuota Haji ONH Plus

Nasional
Punya Kinerja Baik, Pertamina Raih Peringkat 3 Perusahaan Terbesar Fortune 500 Asia Tenggara 2024

Punya Kinerja Baik, Pertamina Raih Peringkat 3 Perusahaan Terbesar Fortune 500 Asia Tenggara 2024

Nasional
Gugat ke MK, Dua Mahasiswa Minta Syarat Usia Calon Kepala Daerah Dihitung saat Penetapan

Gugat ke MK, Dua Mahasiswa Minta Syarat Usia Calon Kepala Daerah Dihitung saat Penetapan

Nasional
Satgas Judi 'Online' Dibentuk, Kompolnas Minta Polri Perkuat Pengawasan Melekat

Satgas Judi "Online" Dibentuk, Kompolnas Minta Polri Perkuat Pengawasan Melekat

Nasional
Pemerintah Diminta Fokuskan Bansos Buat Rakyat Miskin, Bukan Penjudi 'Online'

Pemerintah Diminta Fokuskan Bansos Buat Rakyat Miskin, Bukan Penjudi "Online"

Nasional
Pemerintah Diminta Solid dan Fokus Berantas Judi 'Online'

Pemerintah Diminta Solid dan Fokus Berantas Judi "Online"

Nasional
Ada Anggota DPR Main Judi Online, Pengamat: Bagaimana Mau Mikir Nasib Rakyat?

Ada Anggota DPR Main Judi Online, Pengamat: Bagaimana Mau Mikir Nasib Rakyat?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com