Memanjakan koruptor
Memudarnya imaji agenda pemberantasan korupsi tidak hanya dapat dilacak dari kondisi di atas, tetapi juga bisa ditelusuri dari rencana pemerintah untuk meninjau kembali aturan ihwal pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat. Rencana ini tentu saja mengulang lagi perdebatan 3-4 tahun lalu ketika terjadi obral remisi kepada narapidana korupsi. Untuk ini perlu dicatat, pengesahan PP No 99/2012 yang merupakan revisi PP No 32/1999 adalah jawaban terhadap penolakan berbagai kalangan yang concern terhadap pemberantasan korupsi ketika para koruptor berupaya mempersingkat masa pemidanaan melalui fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat.
Sekiranya hendak diletakkan pada konsep efek penjeraan (deterrence effect) dalam desain besar pemberantasan korupsi, pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tanpa pengetatan dapat dikatakan sebagai bentuk kemewahan bagi para koruptor. Padahal, dari awal proses hukum, sebagian mereka yang tersangkut korupsi mendapat kemudahan. Barangkali kemewahan sedikit berkurang jika proses penanganan kasus korupsi dilakukan KPK. Beberapa kali pernah dikemukakan, kemewahan dinikmati mereka yang tersangkut kasus korupsi bukan hanya terjadi pada bagian hilir, yaitu dengan begitu mudahnya mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, melainkan juga sampai ke tingkat hulu. Paling tidak, kasus Artalyta Suryani lebih dari cukup untuk mengurai bentangan fakta ini.
Terkait dengan ini, dalam "Pangkas Kemewahan Koruptor" (Kompas, 6/11/2011), saya kemukakan, di tingkat hulu masalah yang terjadi bukan hanya semakin masifnya vonis atau hukuman di bawah 5 tahun, melainkan juga kemewahan sejak dari proses penyidikan sampai vonis hakim. Dalam proses penyidikan, penyidik masih terbatas menahan para pelaku tindak pidana korupsi. Padahal, alasan subyektif dan obyektif telah terpenuhi untuk menahan tersangka. Bahkan, ketika menjalani hukuman, lembaga pemasyarakatan memberikan banyak kemewahan yang mungkin tidak bisa dinikmati narapidana biasa.
Di tengah kritik terhadap segala macam kemewahan ini, misalnya, pengadilan berupaya melakukan perubahan dengan berkurangnya vonis ringan. Andai terdapat hakim tingkat pertama yang memberikan hukuman ringan, hakim tingkat banding atau kasasi akan melakukan koreksi. Bahkan, perkembangan tahun-tahun terakhir, hakim sudah mulai membuat putusan yang berpotensi memiskinkan dan mencabut hak politik koruptor. Sekalipun masih dengan jumlah terbatas, perkembangan ini tetap harus dimaknai sebagai respons positif sebagian hakim dan pengadilan ihwal pentingnya efek jera dalam memberantas korupsi.
Namun, ketika pengadilan bergerak ke arah itu, pemerintah seperti memilih langkah berbeda. Sebagaimana dikhawatirkan Choky Ramadhan, gelagat mencabut pengetatan ini sudah dapat dilacak dari pemberian remisi kepada Urip Tri Gunawan, Anggodo Widjojo, Sumadi Singaribun, dan Haposan Hutagalung pada Desember 2014 (Kompas, 16/2). Ketika pemberian remisi tersebut diikuti dengan upaya merevisi PP No 99/2012, publik memiliki alasan kuat untuk curiga dengan langkah Menteri Hukum dan HAM.
Perlu dicatat, desakan melakukan pengetatan terhadap narapidana korupsi salah satunya didorong sejumlah bentangan empirik bahwa lembaga pemasyarakatan lebih banyak menjadi tempat persinggahan sementara bagi koruptor. Karena itu, langkah pengetatan ini harus ditempatkan sebagai point of no return dalam agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, sekiranya memang ingin memberikan efek jera, yang harus dipikirkan, misalnya, langkah efektif memiskinkan koruptor dan semua jejaring yang ikut menikmati hasil jarahan uang negara.
Terlepas dari semua itu, hal terpenting yang perlu disampaikan, pemerintah harus hati-hati betul dalam mengambil kebijakan yang potensial kontraproduktif dengan agenda pemberantasan korupsi. Jangan pernah gagap mendukung agenda pemberantasan korupsi, termasuk mendukung KPK. Keliru memilih langkah, publik akan semakin mudah menilai bahwa pemimpin politik semakin menjauh dari imaji anti korupsi. Bilamana pemudaran ini tak bisa dihentikan, bersiaplah menanti datangnya bola liar krisis kepercayaan publik yang antara lain dipicu memudarnya imaji anti korupsi.
Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Kamis (19/3/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.