JAKARTA, KOMPAS.com — Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri menentang pernyataan pihak Mahkamah Agung yang memberi sinyal penolakan jika nantinya Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan kasus Komjen Budi Gunawan.
Ia mengatakan, majelis hakim baru dapat memutuskan apakah permohonan ditolak atau diterima setelah masuk ke tahap persidangan.
"Tidak boleh ngomong gitu. Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, hukum tidak jelas," ujar Taufiq di Gedung KPK, Selasa (10/3/2015).
Sebelumnya, juru bicara MA, Hakim Agung Suhadi, menyatakan bahwa PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau hak warisnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. (Baca: MA Isyaratkan Bakal Menolak jika KPK Ajukan PK Putusan Praperadilan BG)
Taufiq mengatakan, MA tetap harus menerima berkas permohonan jika KPK jadi mengajukan PK. Jika MA menyatakan menolak sebelum KPK mengajukan PK, Taufiq menilai MA berpotensi melanggar etik.
"Ya, tetap harus diterima. Itu potensi masuk ke majelis pengadilan. Tidak boleh memutus sebelum putusan," kata Taufiq.
Hakim Sarpin Rizaldi dalam putusannya menganggap permohonan tim pengacara Budi Gunawan termasuk dalam obyek praperadilan. Pihak Budi mempermasalahkan penetapannya sebagai tersangka oleh KPK. (Baca: Hakim Anggap Permohonan Budi Gunawan Termasuk Obyek Praperadilan)
Sarpin memutuskan penetapan tersangka Budi oleh KPK tidak sah. Menurut dia, KPK tidak berwenang mengusut kasus Budi Gunawan seperti diatur dalam UU KPK. (Baca: Ini Putusan Hakim Sarpin)
Menyikapi putusan tersebut, KPK melimpahkan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Pimpinan KPK mengaku kalah menyikapi putusan Sarpin.
Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri menganggap putusan Hakim Sarpin menabrak hukum acara. Namun, Taufiq belum dapat menyimpulkan apakah putusan yang menabrak hukum acara tersebut merupakan terobosan hukum atau pelanggaran etika. (baca: KY Anggap Putusan Hakim Sarpin soal BG Menabrak Hukum Acara)