Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/02/2015, 16:27 WIB


JAKARTA, KOMPAS
- Saya tidak akan pernah berhenti menyatakan ini, "Jokowi adalah ujung tombak generasi kami. Oleh sebab itu, penulis akan tetap mendukungnya". Hal itu saya sampaikan kepada Romo Sindhunata setelah diskusi buku Sisi Lain Istana 2, karangan wartawan Kompas, J Osdar, di Banjarsari Homestay, Yogyakarta, akhir minggu lalu.

Romo Sindhu gundah dengan dinamika politik nasional saat ini, demikian juga dengan peserta diskusi pada umumnya. Namun, mereka masih percaya bahwa Presiden Joko Widodo bukanlah sosok yang mudah terkungkung kekuasaan. Ia akan segera keluar dari kerangkeng rasa amannya dan menyelesaikan segala persoalan satu per satu. Seratus hari memerintah cukup bagi Presiden untuk menimbang siapa para loyalis, oportunis, dan pengkhianat, baik yang berada di pemerintahan maupun di luar pagar kekuasaan.

Lalu kami berbincang mengenai tugas sejarah seorang pemimpin, yang secara simbolik harus menjadi Mbok Turah. Menjadi mbok (baca: ibu) yang turah (tak pernah kekurangan) dalam memberikan kasih sayang dan menghidupi anak-anaknya, yaitu seluruh anak bangsa, secara adil. Sebaliknya, ia akan mengambil segala risiko untuk melindungi anak-anak dan Tanah Air-nya. Pandangan tersebut diamini oleh Pak Yamin, seorang pengusaha bersahaja sekaligus sahabat dari Surabaya yang dekat dengan para aktivis, seniman unggul Djaduk Ferianto, dan aktivis Mariza Hamid.

Dalam perspektif budaya politik, kini saatnya bagi Presiden Jokowi menerapkan prinsip suro diro joyo ningrat lebur dening pangastuti (segala kesaktian dan kehebatan akan kalah oleh kelembutan). Lembut bukan berarti tidak adil dan tegas. Itu juga sifat otentik Mbok Turah.

Dalam konstruksi seperti itu, langkah awal yang harus dilakukan Jokowi adalah mengukuhkan kembali komunikasi dengan Megawati Soekarnoputri. Suka atau tidak, dari pintu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Jokowi menapak ranah politik kekuasaan. Sejak pelantikan Kabinet Kerja, siapa pun yang mencermati gerak politik Indonesia akan menangkap merenggangnya hubungan mereka.

Sebelumnya memang santer ada isu miring bahwa Jokowi hanya sebagai boneka. Ini sama dengan isu yang menghebat akhir-akhir ini, yaitu Megawati akan "di-KPK-kan" menyangkut kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang ia gulirkan ketika menjadi presiden, sedangkan gempuran isu yang menghampiri Jokowi adalah ia akan dimakzulkan oleh Megawati.

Secara politik, isu itu dapat ditempatkan sebagai variabel disinformasi yang sengaja diolah dan ditebar oleh suatu kekuatan politik atau kelompok kepentingan guna menjauhkan relasi kedua tokoh tersebut. Tujuannya sederhana, apabila hubungan mereka berjarak, apalagi berkonflik, peluang untuk "mengontrol" Jokowi dari pintu mana pun terbuka.

Menurut analisis saya, disinformasi itulah yang menjadi pemicu munculnya fenomena Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri, Bambang Widjojanto menjadi tersangka, dan hiruk-pikuk lain menyangkut hubungan Polri-KPK yang di mata publik hubungan kedua institusi penegak hukum tersebut sudah dianggap gontok-gontokan. Akibatnya, hampir seluruh gerak dan eksekusi kebijakan pemerintah melamban dan sebagian besar masyarakat bingung serta merasa tersia-sia.

Saya menempatkan hubungan Megawati-Jokowi sebagai titik pijak guna mencermati arah politik nasional tiga bulan terakhir. Terlepas dari semua kelemahan dan kekurangan Megawati, dia adalah politisi paling tangguh saat ini karena mempunyai pengalaman politik paling lengkap sejak kecil—anak presiden, ketua umum partai, pernah menjadi wakil presiden dan presiden, serta "melahirkan" presiden. Ia juga pernah ditelikung jika tidak boleh disebut dikhianati oleh orang- orang yang sebelumnya dia percaya.

Bacaan politik Megawati, dengan demikian, akan sangat diperhitungkan lawan. Kedekatan Megawati dan Jokowi akan mempersempit ruang manuver mereka. Oleh sebab itu, hubungan tersebut harus diperlemah, bahkan kalau bisa diputus. Tanpa itu, upaya untuk memengaruhi Jokowi lebih bersifat utopis daripada realistis. Juga sulit untuk menyusun skenario mengubah bangunan politik kekuasaan.

Dengan buruknya komunikasi Megawati-Jokowi, misalnya, pihak-pihak yang berkehendak mempunyai peran dominan di lingkaran kekuasaan bisa meyakinkan Jokowi bahwa apabila Megawati dan PDI-P keras kepala, arah politik bisa diubah. Dengan istilah lain, ketika Presiden melakukan perombakan kabinet, menteri yang berasal dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bisa diganti oleh figur-figur yang berasal dari Koalisi Merah Putih (KMP). Singkatnya, dalam konfigurasi politik baru itu, KMP menjadi partai pemerintah dan KIH menjadi partai oposisi. Kaki kekuasaan berubah, tetapi presidennya sama.

Oleh sebab itu, untuk mencegah ketidakpastian politik dan meluasnya spekulasi publik, ibarat Mbok Turah yang tidak pernah lelah menyayangi dan memberi, langkah yang perlu segera dilakukan Jokowi pekan ini adalah secara lembut dan tegas mengukuhkan kembali eksistensi Polri dan KPK. Lalu, meneguhkan kembali hubungannya dengan Megawati. Saya percaya, sejauh dikomunikasikan, Megawati cukup tahu diri dan mengerti apa pun langkah politik yang diambil Jokowi meskipun itu berbeda dengan pandangannya. Selanjutnya, tentu saja perombakan kabinet.

Romo Sindhunata hanya tersenyum mendengar ocehan saya itu.

Sukardi Rinakit
Ketua PARA Syndicate

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Nasional
Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Nasional
DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

Nasional
Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Nasional
Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

Nasional
DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

Nasional
Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Nasional
Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Nasional
Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Nasional
Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Nasional
DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

Nasional
Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com