Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan Boneka

Kompas.com - 27/01/2015, 14:10 WIB


Oleh: Limas Sutanto

KOMPAS - Siapa pun yang jujur mengikuti hati nuraninya akan dapat mengakui bahwa Joko Widodo adalah presiden yang mau bekerja keras, sedang bekerja keras, bercita-cita memimpin Indonesia untuk menjadi bangsa dan negara yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih kuat, lebih manusiawi. Ia pun kini sedang terus berbuat mengejawantahkan cita-cita itu.

Itu semua sudah ia buktikan bukan hanya melalui penampilan dan wicaranya yang sederhana dan apa adanya atau melalui blusukan-nya yang tulus, melainkan juga melalui tindakannya memilih beberapa menteri yang sungguh merupakan pilihannya sendiri tanpa pengaruh signifikan kompromi politik. Sebutlah seperti Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Setidak-tidaknya kita dapat melihat bahwa kedua menteri pilihan asli Jokowi itu langsung bekerja nyata untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang menguntungkan rakyat.

"Orangtua" yang dominan

Akan tetapi, kita pun melihat betapa Jokowi tidak terlepas dari pengaruh tokoh-tokoh politik yang sosoknya sulit dilawan oleh Jokowi. Agaknya tokoh-tokoh itu adalah orang-orang senior dalam politik yang dapat terhayati oleh Jokowi sebagai sosok "orangtua" dominan (penuh kuasa), yang menghendaki Jokowi bersikap submisif (tunduk dan menurut). Salah satu dari tokoh-tokoh itu adalah Megawati Soekarnoputri.

Publik luas membaca betapa Megawati dapat begitu kuat memengaruhi Jokowi dalam memilih pejabat, sampai-sampai sebagian dari publik menyindir Jokowi dengan menyebutnya sebagai "presiden boneka". Kejadian terakhir yang mencolok, yang mengesankan pengaruh kuat tak terlawankan dari Megawati terhadap Jokowi adalah dipilihnya Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian Negara RI oleh Jokowi, yang kemudian berbuntut kekisruhan berlarut-larut yang menggerogoti legitimasi Jokowi di hadapan rakyat.

Kita tidak tahu apakah Megawati sebagai negarawan memiliki ketegaan yang luar biasa untuk membiarkan Jokowi mengalami penggerogotan legitimasi di hadapan rakyat dengan berkeras "memerintahkan" Jokowi untuk memilih Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Padahal, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Budi Gunawan menyandang indikasi-indikasi sangat kuat sebagai pelaku korupsi. Apakah Megawati hanya setingkat saja dengan  anggota-anggota DPR yang tega menjerumuskan Jokowi dengan menyetujui (bukan mengoreksi) pilihan Jokowi, padahal pilihan Jokowi itu jelas-jelas tidak diterima oleh rakyat yang diwakili oleh para anggota DPR itu.

Keseluruhan drama itu menyodorkan tanda-tanda bahwa, bagi Jokowi, melawan kehendak jutaan relawan pendukungnya dan ratusan juta rakyat jelata yang memilihnya untuk menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia adalah lebih enteng, lebih mudah, dan lebih bisa dilakukan daripada melawan kehendak perseorangan tokoh "orangtua" yang—bagi jiwa subyektif Jokowi—terhayati secara idiosyncratic (sangat unik) sebagai kekuatan yang begitu hegemonik dan digdaya. Tak tertahankan, tak terlawankan.

Dalam mengalami praktik psikoterapi bersama pasien-pasien, di sana-sini penulis menjumpai orang-orang yang memang memiliki penghayatan subyektif idiosinkratik "begitu tidak berdaya" ketika mereka berhadapan dengan "orangtua". Betapa pun orang-orang itu berumur dewasa, bahkan setengah tua, tetapi ketika mereka berhadapan dengan "orangtua", mereka menjadi penurut. Mereka tidak sanggup meneruskan fungsi berpikir otonom yang selama ini sudah mereka miliki dengan baik dan mereka ejawantahkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Di hadapan sang "orangtua", mereka cenderung meninggalkan pilihan bebas mereka dan menuruti saja kehendak sang "orangtua".

Saya khawatir Jokowi adalah orang yang seperti itu di hadapan sang "orangtua", yang dalam hal ini terutama adalah Megawati Soekarnoputri. Kita melihat beberapa bahasa tubuh Jokowi, baik di masa-masa sebelum dia dipilih menjadi calon presiden oleh Megawati  ataupun pada masa-masa setelah itu, yang mencerminkan betapa Jokowi "tunduk" di hadapan Megawati. Salah satu yang terpenting adalah tindakan berulang Jokowi mencium tangan Megawati sembari membungkukkan punggungnya secara signifikan. Memang kita bisa mengatakan bahwa itu hanya sikap santun Jokowi sebagai orang Jawa dan orang Solo yang sangat diresapi budaya menghormati orangtua, tetapi terus terang tindakan berulang Jokowi itu dapat dilihat sebagai sebuah bahasa nonverbal yang dapat mencerminkan penghayatan diri yang submisif (tunduk dan menurut) di hadapan Megawati yang adalah "orangtua" yang dominan.

Penulis sama sekali tidak memiliki kebencian apa pun terhadap Jokowi ataupun Megawati. Dalam pemilihan umum dulu, ketika Megawati maju sebagai calon presiden (meskipun kemudian terbukti kalah), penulis memilih beliau. Dalam Pemilu 2014, penulis memilih Jokowi. Maksud tulisan ini hanyalah mengingatkan Jokowi dan Megawati, kedua-duanya, bahwa dalam hubungan dua orang manusia bisa terjadi penghayatan (yang sebagian besar sesungguhnya berlangsung secara nirsadar) bahwa salah satu dari dua orang itu adalah figur "orangtua" (parental figure) yang begitu kuat, dahsyat, dominan tak tertahankan dan tak terlawankan pengaruhnya. Di sini terjadi hubungan "anak" yang submisif dan "orangtua" yang dominan.

Tentulah hubungan seperti itu bukanlah suatu wujud hubungan yang sehat. Sebab pihak yang submisif menjadi terhambat tumbuh-kembangnya, bisa kehilangan fungsi berpikir otonomnya, bisa kehilangan kemampuan imajinatifnya. Secara luas sekaligus mendasar dapat dikatakan bahwa pihak yang submisif itu bisa kehilangan kebebasan mendasarnya sebagai pribadi manusia dewasa dan bermartabat. Jika hubungan tidak sehat seperti ini terjadi antara dua orang tokoh pemimpin di dalam negara, kita bisa membayangkan betapa akan sangat besarlah efek-efek distortifnya untuk kehidupan kenegaraan.

Bahan renungan

Penulis masih percaya bahwa Megawati Soekarnoputri adalah seorang negarawan besar yang juga mencintai Joko Widodo secara tulus. Megawati tentunya tidak ingin melihat Jokowi tergerogoti legitimasinya di hadapan rakyat karena memilih pejabat-pejabat tanpa mengindahkan janji-janjinya sewaktu kampanye, yaitu hanya memilih pejabat-pejabat yang bersih dan jujur saja. Megawati Soekarnoputri juga tentunya tidak ingin melihat Jokowi menjadi penguasa lalim yang mengabaikan suara rakyat hanya demi terhindar dari rasa takut di hadapan sang "orangtua" yang dahsyat dominan tak terlawankan.

Megawati perlu menyadari bahwa justru karena sosok dirinya terhayati sebagai "orangtua" yang dominan bagi Jokowi, ia perlu sangat berhati-hati dalam menerapkan pengaruhnya terhadap sang presiden. Bahkan, seyogianya ia sangat meminimalkan pengaruhnya terhadap Jokowi, yakni dengan membiarkan Jokowi mengambil keputusan-keputusannya sendiri walaupun keputusan-keputusan itu tidak cocok dengan kehendak dan selera sang ibu.

Di sisi lain, barangkali tulisan ini dapat menjadi salah satu bahan renungan bagi Jokowi. Ia memang perlu menjadi sungguh-sungguh Jokowi, seorang pria dan pemimpin yang dekat dengan rakyat, begitu energik mendengarkan rakyat dan melayani rakyat dengan tulus. Kalau Jokowi menjadi sungguh Presiden Joko Widodo, pastilah ia itu presiden bukan boneka. Mulai sekarang ia perlu menegaskan kembali dengan segenap keputusan yang akan ia ambil dalam perjalanan pemerintahannya sampai 2019 bahwa memang Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia, presiden milik rakyat Indonesia, bukan presiden boneka dari siapa pun.

Limas Sutanto
Psikiater Konsultan Psikoterapi; Tinggal di Malang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

3 Jemaah Haji Indonesia Meninggal di Madinah

3 Jemaah Haji Indonesia Meninggal di Madinah

Nasional
TNI AL Petakan Rute dan Daerah Rawan Penyelundupan Benih Lobster

TNI AL Petakan Rute dan Daerah Rawan Penyelundupan Benih Lobster

Nasional
Polemik Kenaikan UKT Terus Jadi Sorotan, Fahira Idris: Pendidikan Tinggi Seharusnya Inklusif

Polemik Kenaikan UKT Terus Jadi Sorotan, Fahira Idris: Pendidikan Tinggi Seharusnya Inklusif

Nasional
Menteri ESDM Soal Revisi PP Minerba: Semua K/L Sudah Siap, Tinggal dari Istana

Menteri ESDM Soal Revisi PP Minerba: Semua K/L Sudah Siap, Tinggal dari Istana

Nasional
RUU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR, Bakal Segera Dikirim Ke Presiden

RUU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR, Bakal Segera Dikirim Ke Presiden

Nasional
Menolak Diusung pada Pilkada DKI dan Jabar, Dede Yusuf: Bukan Opsi yang Menguntungkan

Menolak Diusung pada Pilkada DKI dan Jabar, Dede Yusuf: Bukan Opsi yang Menguntungkan

Nasional
DPR Bakal Panggil Mendikbud Nadiem Buntut Biaya UKT Mahasiswa Meroket sampai 500 Persen

DPR Bakal Panggil Mendikbud Nadiem Buntut Biaya UKT Mahasiswa Meroket sampai 500 Persen

Nasional
Pasal dalam UU Kementerian Negara yang Direvisi: Jumlah Menteri hingga Pengertian Wakil Menteri

Pasal dalam UU Kementerian Negara yang Direvisi: Jumlah Menteri hingga Pengertian Wakil Menteri

Nasional
Jokowi Disebut Tak Perlu Terlibat di Pemerintahan Mendatang, Beri Kedaulatan Penuh pada Presiden Terpilih

Jokowi Disebut Tak Perlu Terlibat di Pemerintahan Mendatang, Beri Kedaulatan Penuh pada Presiden Terpilih

Nasional
Kekayaan Miliaran Rupiah Indira Chunda, Anak SYL yang Biaya Kecantikannya Ditanggung Negara

Kekayaan Miliaran Rupiah Indira Chunda, Anak SYL yang Biaya Kecantikannya Ditanggung Negara

Nasional
LPSK dan Kemenkumham Bakal Sediakan Rutan Khusus 'Justice Collaborator'

LPSK dan Kemenkumham Bakal Sediakan Rutan Khusus "Justice Collaborator"

Nasional
Alasan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Hadirkan JK sebagai Saksi Meringankan

Alasan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Hadirkan JK sebagai Saksi Meringankan

Nasional
Dewas KPK Tolak Ahli yang Dihadirkan Nurul Ghufron karena Dinilai Tidak Relevan

Dewas KPK Tolak Ahli yang Dihadirkan Nurul Ghufron karena Dinilai Tidak Relevan

Nasional
Mengadu ke DPR gara-gara UKT Naik 500 Persen, Mahasiswa Unsoed: Bagaimana Kita Tidak Marah?

Mengadu ke DPR gara-gara UKT Naik 500 Persen, Mahasiswa Unsoed: Bagaimana Kita Tidak Marah?

Nasional
Soal Revisi UU MK, Hamdan Zoelva: Hakim Konstitusi Jadi Sangat Tergantung Lembaga Pengusulnya

Soal Revisi UU MK, Hamdan Zoelva: Hakim Konstitusi Jadi Sangat Tergantung Lembaga Pengusulnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com