Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/01/2015, 17:28 WIB


Oleh: Franz Magnis-Suseno

JAKARTA, KOMPAS - Eksekusi enam terpidana perkara narkoba baru saja, lima di antaranya warga negara asing, menimbulkan reaksi keras dari beberapa pemerintah negara yang bersangkutan.

Menurut penulis, reaksi-reaksi itu tak perlu terlalu dihiraukan. Pelaksanaan eksekusi itu telah mengikuti proses hukum yang benar. Tidak kelihatan ada keteledoran dari pihak kita. Maka kita sendiri yang memutuskan bagaimana hukum yang berlaku di negara kita itu dilaksanakan.

Akan tetapi, tak bisa tidak, eksekusi-eksekusi itu menimbulkan pertanyaan prinsip. Pertanyaan tentang kebenaran moral hukuman mati. Pertanyaan itu tidak kita jawab dengan mengintip pada pandangan negara lain, tetapi atas dasar kesadaran kita sendiri. Entah apa pandangan negara lain, harga diri kita sendiri menuntut agar kita membersihkan sistem hukum kita dari segala unsur yang tidak etis, tidak manusiawi, tidak benar.

Berikut saya ajukan secara singkat empat alasan mengapa, menurut keyakinan saya, hukuman mati harus kita hapus. Pertama, sistem yudisial kita belum bersih dari praktik korup. Masa kita bersedia membunuh orang atas keputusan lembaga- lembaga yang tidak dapat dipastikan kejujurannya!

Kedua adalah prinsipiil: hukuman mati satu-satunya hukuman yang tidak dapat dicabut sesudah dilaksanakan. Padahal, kemungkinan kekeliruan selalu ada. Sistem terbaik pun tidak dapat 100 persen menjamin bahwa suatu putusan pengadilan tidak keliru.

Ketiga, menyangkut harkat kemanusiaan. Membunuh orang, kecuali untuk membela diri atau dalam pertempuran militer resmi adalah tindakan yang tidak termasuk wewenang manusia. Bukan kita yang memasukkan diri kita ke dalam eksistensi dan bukan kita yang berhak mencabut eksistensi itu. Maka, menghukum penjahat dengan mencabut nyawanya sebenarnya merupakan hujatan terhadap Yang Memberi Hidup. Tak kurang!

Mungkin orang bilang: bukankah hukuman mati belum begitu lama dilaksanakan di semua negara dan masyarakat di dunia dan dibenarkan oleh semua agama? Kok mendadak dianggap tidak dapat dibenarkan? Argumen ini tidak kuat. Bahwa sebuah perbuatan (hukuman mati) disetujui luas tidak berarti perbuatan itu tidak bisa jahat. Sama tidak benarnya seperti semboyan vox populi vox Dei: ("suara rakyat adalah suara Tuhan"). Suara rakyat jelas bukan suara Tuhan. Suara rakyat bisa juga jahat. Tak ada suara manusia—baik seseorang, sekelompok orang, maupun semua orang—yang sama dengan suara Tuhan. Bukankah kita tahu, rakyat bisa keliru, hati rakyat bisa penuh dendam, iri, benci.

Bahwa begitu lama hukuman mati tidak dipersoalkan bukanlah bukti hukuman mati dapat dibenarkan, melainkan kelonggaran sementara karena kekasaran hati manusia. Karena naluri mau balas dendam, manusia butuh waktu untuk menyadari bahwa ia tidak boleh membunuh. Namun, lama-kelamaan manusia jadi lebih mengerti, lebih bertanggung jawab, maka ia mulai memahami bahwa hukuman mati melampaui wewenang moralnya.

Pernah ada hukum "mata demi mata, gigi demi gigi" (lex talionis, di Kitab Taurat). Namun, pada waktu itu, 3.000 tahun lalu, lex talionis merupakan langkah maju dalam proses dekasarisasi hati manusia. Waktu itu, kalau orang memukul orang lain sehingga gigi atau mata hilang, ia akan dibunuh. Lex talionis lantas membatasi: Kalau matamu ditusuk, kau tak boleh membunuh, kau hanya boleh tusuk mata dia. Namun, sekarang kita sudah maju. Kalau sekarang mata seseorang yang menusuk ditusuk kembali, itu barbar.

Jadi, ada kemajuan dalam perjalanan umat manusia ke luar dari kekasaran. Dan sangat tepatlah sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hukuman mati belum beradab.

Kalau dalam agama-agama dulu, hukuman mati tidak ditolak, tetapi ditetapkan sebagai hukuman atas perbuatan jahat tertentu, itu pun perlu dimengerti dalam rangka de-kasarisasi hati manusia. Daripada pelanggaran apa pun dibalas dengan membunuh pelanggar, hukuman mati—yang belum bisa dihapus sama sekali karena manusia masih terlalu kasar—dibatasi pada perbuatan kriminal paling jahat saja. Akan tetapi, yang sebenarnya dimaksud: pada akhirnya manusia jadi sadar bahwa hukuman mati tidak pantas dan tidak dikehendaki Tuhan.

Bisa juga dikatakan: Tuhan sabar dengan kekasaran hati kita, tetapi tidak untuk selamanya.

Alasan keempat, menurut kebanyakan ahli, hukuman mati tak punya efek jera. Ancaman hukuman mati tidak mengurangi kelakuan kriminal.

Ada beberapa pertimbangan tambahan. Di Indonesia ada orang yang baru dieksekusi puluhan tahun sesudah hukuman mati dijatuhkan, terutama beberapa orang yang dituduh "terlibat G30S/PKI". Eksekusi semacam itu kehilangan segala legitimasi. Di lain pihak Indonesia sudah cukup lama menahan diri dalam menjatuhkan hukuman mati. Hukuman mati sudah bukan hukuman rutin. Logika kenyataan positif itu adalah: akhiri hukuman mati sama sekali!

Tuntutan agar kita mencoret hukuman mati dari hukum pidana kita bukan karena ikut-ikutan luar negeri, melainkan demi harga diri kita sebagai bangsa yang beradab.

Franz Magnis-Suseno
Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Nasional
Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Nasional
Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Nasional
Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Nasional
Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
9 Kabupaten dan 1 Kota  Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

9 Kabupaten dan 1 Kota Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

Nasional
KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat 'Dirawat Sampai Sembuh'

KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat "Dirawat Sampai Sembuh"

Nasional
BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

Nasional
BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

Nasional
PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

Nasional
BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

Nasional
Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com