Karena tak terbuka ruang untuk memperdebatkan substansi Perppu No 1/2014 dan mayoritas parpol akan mendukung, seharusnya pembahasan berlangsung cepat dan singkat. Bilamana bisa berlangsung lebih cepat, kita masih punya waktu melakukan beberapa revisi terhadap materi UU dari Perppu No 1/2014 yang dianggap masih perlu perbaikan.
Salah satu isu yang dirasa perlu diperbaiki ihwal penyelesaian sengketa pemilihan (electoral dispute resolution). Setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan tak berwenang lagi menyelesaikan perselisihan hasil pilkada, pembentuk UU mengembalikan penyelesaian ke Mahkamah Agung. Padahal, dalam desain electoral dispute resolution, pengadilan hanya salah satu jalan menyelesaikan perselisihan pemilu. Di Thailand, misalnya, komisi pemilihan umum memiliki wewenang menyelesaikan sengketa tertentu, termasuk mendiskualifikasi calon yang melanggar.
Isu lain menyangkut uji publik terhadap calon kepala daerah yang diajukan parpol. Gagasan ini menarik, tetapi akan jauh lebih bermakna jika parpol yang dipaksa melakukan proses penentuan calon yang terbuka dan transparan. Misalnya, cara yang paling mungkin dilakukan adalah semacam konvensi di internal parpol. Langkah ini perlu dilakukan agar calon tidak lahir melalui proses oligarki parpol. Kalau gagasan ini hendak direalisasaikan, parpol yang tak melakukan proses terbuka dan partisipatif dibatalkan hak pengajuan calonnya oleh Komisi Pemilihan Umum.
Dengan terbukanya ruang melakukan revisi terbatas setelah menjadi UU, kabar gembira bagi kita tidak hanya sebatas lolosnya Perppu No 1/2014 dari hadangan DPR, tetapi juga menunggu kabar gembira berikutnya demi menghadirkan pemilihan kepala daerah yang berkualitas.
Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang