Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tuduhan Politik Uang Ramaikan "Drama" Munas Partai Golkar

Kompas.com - 27/11/2014, 23:28 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Ormas MKGR yang juga anggota tim penyelamat Partai Golkar Zainal Bintang mengungkap praktik politik uang menjelang Musyawarah Nasional IX Partai Golkar. Politik uang itu sekaligus upaya untuk membeli suara para pemegang suara di Munas Golkar, terutama DPD tingkat I dan DPD tingkat II.

Zainal mengaku mendapat laporan kubu Aburizal Bakrie berkeliling mencari dukungan ke daerah dengan imbalan uang muka Rp 250 juta untuk DPD I dan Rp 25 juta untuk DPD II. Menurut Zainal, uang diberikan untuk memenangkan Aburizal dalam pemilihan ketua umum di Bali pada 30 November mendatang. Tidak hanya itu, bahkan Zainal mengungkap Aburizal sudah melakukan politik uanh sejak Munas VIII di Pekanbaru, Riau pada 2009.

"Waktu (sebelum Munas,-red) itu ada Rp 400 juta untuk satu DPD Tingkat I dan Rp 200 juta untuk DPD Tingkat II. Tapi, pas Munas uangnya tidak banyak (yang dikeluarkan). Karena waktu suaranya Bosnya Metro (Surya Paloh, -red) dicolong 30 suara, masing-masing dapat Rp 1 M. Waktu itu, panitianya bilang, ayo di sebelah kiri Anda semua ada snack. Itu cuma alasan supaya uangnya diambil. Setelah diambil, dibuka di toilet Rp 1 M, uangnya Dollar semua," beber Zainal di kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta, Kamis (27/11/2014).

Bantahan Nurdin Halid

Tapi tuduhan Zainal itu kemudian dibantah politisi Partai Golkar yang selama ini dikenal sebagai pendukung Aburizal, Nurdin Halid. Bahkan Nurdin menuduh kubu tempat Zainal bernaung yang melakukan politik uang.

"Mungkin yang melakukan itu adalah kubunya dia. Di kami tidak ada itu, nggak ada itu. Kan dia tuduh ke kami, yang melakukan itu justru kubunya dia," kata Nurdin saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis (27/11/2014) malam.

Meski demikian, Nurdin mengakui kubu Aburizal memberikan sejumlah uang kepada para pengurus DPD sebagai uang transportasi. Dan hal itu menurutnya bukan sebagai hal yang luar biasa.

"Enggak ada uang sebanyak itu. Yang ada uang transport. Itu biasa saja. Agung (Laksono) kalau ke daerah saja kasih uang. Kalau diundang ke Jakarta dia juga kasih uang transport, kasih uang saku," ujarnya.

Nurdin pun menegaskan, omongan Zainal Bintang tidak perlu didengarkan. Sebab, Zainal bukan siapa-siapa di Partai Golkar. "Zainal Bintang itu bukan siapa-siapa di Partai Golkar. Dia tidak punya kontribusi apa-apa untuk partai. Yang perlu didengarkan itu mereka-mereka yang punya 'keringat' untuk partai. Dia itu Tong kosong nyaring bunyinya," ujarnya.

Tidak hanya Aburizal

Tapi ternyata Zainal mengatakan kalau politik uang tidak hanya dilakukan kubu Aburizal Bakrie. Menurut Zainal, calon ketua umum yang lain juga melakukan cara yang sama.

Zainal memaparkan, selain Ical, calon ketua umum yang kuat pendanaannya adalah lima dari tujuh calon ketua umum yang beredar di media massa. Kelima nama itu adalah MS Hidayat, Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Airlangga Hartanto dan Agus Gumiwang Kartasasmita. "Yang dua lainnya sih kaum duafa," ujarnya.

Lalu berapa duit yang diberikan?

"(Kubu Ical,-red) laporan yang aku dengar sekitar Rp 250 jutaan untuk DPD I, kalau DPD II Rp 25 jutaan. Priyo juga sudah ngasih Rp25 juta, Airlangga juga, Agung, semua sudah kasih duit ke DPD II," kata Zainal.

Menurut Zainal, biasanya jumlah uang dari para calon ketua umum ke DPD I dan II akan bertambah hingga lima kali lipat pada saat pemilihan ketua umum berlangsung di Munas.

Uang-uang itu diberikan oleh para caketum pasca-Pilpres 2014 atau mendekati masa berakhirnya kepemimpinan Ical. Saat elit Partai Golkar yang akan maju menjadi caketum safari politik ke daerah, mereka mengumpulkan para pengurus DPD II di sebuah hotel. Uang diberikan saat pulang.

"Katanya itu uang tanda terima kasih. Dari cerita yang berseliweran nilainya ada yang Rp25 juta untuk satu DPD II, ada juga yang Rp10 juta dan Rp15 juta," ungkapnya.

Hingga berita ini diturunkan, Kompas.com berupaya mengkonfirmasi pihak-pihak yang disebutkan oleh Zainal Bintang.

Perlu libatkan KPK?

Adanya praktik politik uang menjelang dan selama Munas Partai Golkar sebelumnya pernah disampaikan pengamat politik Burhanuddin Muhtadi. Burhan mengaku pada tahun 2004 lalu, menyaksikan sendiri peredaran uang yang terjadi pada munas Golkar. Karena itu Burhanuddin pun mengusulkan Partai Golkar untuk mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi selama proses Munas berlangsung.

"Sejauh mana demokratisasi yang terjadi pada sebuah partai, ditandai dengan tidak adanya politik uang. Maka undang saja KPK. Kalau Golkar berani, saya angkat empat jempol saya," kata Burhan. (baca: Pengamat: Kalau Berani, Golkar Libatkan KPK dalam Munas 2015)

Tapi usulan Burhan ini dianggap mantan Ketua Umum Partai Golkar yang juga Wakil Presiden, Jusuf Kalla, tidak tepat. Menurut Kalla, Menurut Kalla, KPK bisa kehilangan wibawanya sebagai lembaga penegak hukum jika dilibatkan dalam proses politik.

"Ada enggak orang potensi korupsi di sana? Bahayanya nanti semua kandidat itu bisa masalah dan nanti KPK kerjanya begitu saja," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (21/11/2014).

Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini menegaskan bahwa tugas pokok KPK bukan sekadar merekomendasikan seorang calon pada setiap acara pemilihan, melainkan memberantas tindak pidana korupsi. Kendati demikian, Kalla mengapresiasi jika Partai Golkar nantinya jadi melibatkan KPK dalam munas akhir November mendatang. (baca juga: JK: Keterlibatan KPK dalam Munas Golkar Bukan pada Tempatnya)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com