Ah, saya mendadak sedih saat melihat Mbok Cunggret yang kini telah renta. Dia hampir-hampir tak mengenali saya. Dia lah yang dulu rajin memberi rebung-rebung pakis dan jamur tiap kali pulang dari hutan karet sehabis mengantar ransum buat Kang Marsin, suaminya.
Begitulah, orang-orang yang pernah saya kenal di perkebunan itu bagai daun-daun karet. Sebagian telah menguning tua, sebagian lainnya telah rontok dan menjadi humus tanah perkebunan itu.
Mereka yang masih bertahan, tak jua beranjak dari kemiskinan bahkan ketika usia senja telah tiba. Mereka masih papa, kendati keringat mereka telah turut serta memakmurkan para atasan dan pemilik perkebunan yang konon orang Inggris.
Pemerasan terus berlangsung secara berkesinambungan. Sebab, setelah orang tua mereka berhenti jadi buruh, giliran anak-anak mereka yang dulu kawan sekolah saya di SD meneruskan profesi orang tuanya sebagai buruh.
Aman, Pardi, Dul, Dasam, Imang, adalah di antara kawan-kawan saya yang masih bertahan di sana, meneruskan tradisi “perbudakan” di perkebunan. Saya hampir-hampir tak mengenali mereka. Saya sedih, sebab mendapatkan kawan-kawan sepermainan kini telah kisut kulitnya dan suram pandang matanya lantaran beban hidup yang kelewat berat.
Saya bertemu kembali dengan kawan-kawan saya di halaman pabrik. Seorang mandor pabrik yang bermisai bapang memanggil nama orang-orang yang saya cari.
Kami hanya bersalaman saja. Entah siapa yang mengomando, kelima kawan saya itu mundur dua tindak dari hadapan saya. Saya hanya tersenyum menyaksikan pemandangan ini tanpa ada keinginan untuk bertanya, “kenapa?”
Ya, saya sudah tahu jawabannya. Meski saya teman mereka di kala kecil, tapi kini saya telah menjadi mahluk asing bagi mereka. Garis demarkasi mendadak terlihat membentang di hadapan kami.
Agar jarak tak semakin melebar, saya segera berkata, bahwa saya masih kawan mereka. Tak ada yang berubah pada diri saya kecuali kini saya hidup di kota dan mereka hidup di tengah hutan.
“Beda saja, pak,” ujar Aman memanggil saya dengan sebutan Pak.
“Apanya yang beda?” tanya saya.
“Baju bapak bagus,” Aman menyahut.
“Dan wangi,” Dasam menyusul sambil tertawa kecil.
Saya pun tersenyum kecut, menyesali ketololan saya yang telah menyemprotkan parfume ke baju, seolah hendak berangkat ke kantor waktu hendak menuju perkebunan dari rumah ibu di Wangon.
Untuk mencairkan suasana, saya pun menawari mereka rokok yang sengaja saya beli buat merka di jalan tadi, seraya mengajak mereka duduk di bawah pohon kenari (Canarium commune). Di pohon inilah dulu saya bersama mereka suka mencari buah kenari untuk dimakan isinya atau dibuat hiasan semacam liontin.
Mulailah kami bercerita tentang kenangan masa lalu. Kini, tak ada lagi yang memanggil saya Pak. Bahkan mereka memanggil saya Gundul, sebuah panggilan buat saya di waktu kecil lantaran ibu gemar menggunduli rambut saya.
Setelah lewat pertanyaan-pertanyaan standar tentang anak, istri, serta pekerjaan, kami pun tenggelam dalam kenangan masa kanak-kanak. Dan ketika kami mengapung kembali ke dunia nyata, saya mendapatkan kembali kesuraman di mata kawan-kawan saya.
Mereka pun mulai mengeluhkan masa depan anak-anak mereka yang banyak. Pemerintah boleh kecewa lantaran Keluarga Berencana gagal di perkebunan ini. Tapi kawan-kawan saya juga punya alasan yang masuk akal kenapa anak-anak mereka lahir berendeng. Sebab, kata mereka, setelah lampu mati sekitar pukul sepuluh malam (sesuai kebijakan manajemen perkebunan), cuma ranjang yang jadi hiburan mereka. Di luar itu, anak adalah buah dadu yang memberi kemungkinan untuk memperbaiki nasib mereka di hari tua.
Ya, ya…, ini memang ujud keputus-asaan setelah mereka meyakini nasib mereka tak akan pernah berubah selain sebagai buruh penyadap karet. Sebuah keyakinan yang juga pernah dirasakan oleh orang tua mereka yang menyebratkan anak-anaknya untuk belajar jadi buruh sebelum lulus sekolah dasar.
Pas matahari di puncak kepala, kami pun menyudahi pertemuan. Kawan-kawan saya mengaku cukup senang karena saya masih ingat mereka. Sebelum berpisah, Aman sempat berpesan supaya saya jangan melupakan dia dan warga perkebunan.
Sebulan setelah pertemuan itu berlalu, saya masih senantiasa ingat Aman dan kawan-kawan lain di perkebunan. Terutama, tiap kali berkendara mobil mengitari kota Jakarta. Sebab, getah karet yang diambil Aman dan kawan-kawan sejak pagi buta di hutan-hutan karet, kini telah menjelma ban mobil yang membawa pergi ke mana saya suka.
Wus! Wus!…Din! Din!
@JodhiY
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.