Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Feodalisme Belum Berakhir di Tempat Ini

Kompas.com - 02/09/2014, 07:58 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Bunyi peluit pabrik menjerit-jerit ketika saya sampai di gerbang sebuah perkebunan karet yang terletak di ujung selatan Jawa, beberapa waktu lalu.

Kenangan, itulah alasannya, kenapa pada pukul 10.00 Wib, saya telah sampai di tempat itu. Sebuah tempat yang berjarak 2,5 km dari jalan raya yang menghubungkan Wangon-Cilacap, Jawa Tengah.

Jalan beraspal, adalah kejutan pertama yang saya dapatkan ketika menuju ke tempat itu. Sebab sebelumnya, jalan menuju perkebunan karet K itu cuma susunan batu cadas yang diambil dari bukit batu Lebak Sela. Saya masih ingat betul, Pak Karya Blentung-lah orang yang paling berjasa membenahi jalan menuju perkebunan tiap kali jalan cadas mulai rusak oleh gerusan air hujan.

Kejutan berikutnya, adalah rumah penduduk yang mengapit jalan menuju perkebunan. Saya lihat beberapa rumah tergolong mewah yang amat jauh dari bentuk rumah berkultur Jawa. Belakangan saya tahu, rumah-rumah itu ternyata menjadi simbol kesuksesan para pemiliknya yang menjadi buruh migran di berbagai negara, mulai Hong Kong, Malaysia, Singapura, hingga Saudi Arabia.

Hubungan simbiosa mutualisma secara kultural antar bangsa rupanya tengah berlangsung di sini, di sebuah desa tandus bernama Desa P. Inilah barangkali ujud ucapan terimakasih kepada majikan mereka. Sebuah prasasti yang akan senantiasa dikenang oleh anak cucu mereka, bahwa ibu mereka pernah memberikan kemulyaan hidup justru ketika bekerja di bumi orang--dan bukan di negeri sendiri--, kendati hanya sebagai pembantu rumah tangga.

Ya, ya…semenjak tenaga kerja kita laku di luar negeri, Jakarta langsung anjlok pamornya sebagai daerah tujuan pembantu asal Desa P dan sekitarnya. Arab, Taiwan, Malaysia, selain berstatus sebagai wilayah luar negeri yang memberikan prestise (pasti untuk sampai ke sana setidaknya naik pesawat terbang, pakai paspor), juga memberikan penghasilan yang jauh lebih baik ketimbang mereka bekerja di Jakarta.

Gerbang perkebunan K saya masuki. Gedung pemimpin perkebunan peninggalan Belanda itu masih berdiri kokoh di sana menempati tanah seluas hampir satu hektare, tepat di pucuk bukit yang menaungi rumah-rumah dinas para karyawan kebun, mulai dari wakil pemimpin kebun, sinder, mandor, sampai buruh-buruh pabrik maupun buruh penyadap karet.

Bentuk serta letak bangunan bisa langsung bercerita kepada kita, karyawan yang berkedudukan tinggi menempati rumah besar di atas permukaan tanah yang lebih tinggi.

Feodalisme rupanya memang telah menjadi penyakit akut di muka bumi ini. Ia telah menjadi bahasa universal yang mudah dipahami oleh semua bangsa. Celakanya, praktik-praktik feodalisme semacam ini justru dikobarkan oleh mereka yang berpendidikan, yang sebagian di antaranya kerap mencemooh feodalisme. Dan sungguh, mereka benar-benar menikmati pembagian martabat yang disimbolkan lewat rumah itu dengan senang hati.

Lihatlah air muka mereka yang dingin ketika berhadapan dengan para buruh, dan tertunduk dengan senyum dikulum saat berhadapan dengan atasan. Saya kira, ini akan jadi semacam lelucon sepanjang masa dari peradaban manusia. Sebuah ambigu sosial kaum terididik. Saat tertentu mereka bicara soal demokrasi, persamaan derajat, dan kemanusiaan…, tapi di saat lain mereka menikmati betul penindasan simbolis atas sesamanya.

Saat saya masih kecil, saya juga pernah menikmati privilege sebagai anak seorang pemimpin perkebunan di Kabupaten Ung. Tanpa saya minta, para buruh itu berlaku hormat kepada saya.

Pagi itu, saya ingin kembali menjenguk kenangan masa kecil saya di perkebunan itu. Saya ingin menjumpai para buruh yang dulu dekat dengan kelurga saya. Ah ya.., saya juga ingin menyaksikan kembali para buruh penyadap yang berduyun-duyun menuju pabrik untuk menyetorkan getah karet hasil sadapannya sejak pukul 05.00 pagi.

Ketika saya jumpai muka-muka baru dan mendengar sebagian orang yang saya kenal telah tiada, saya benar-benar sedih dibuatnya. Setidaknya, hari itu saya telah gagal kepingin menjadi kanak-kanak kembali. Ha ha ha…, sebuah romantisme yang suka menghinggapi kita sekalian bukan?

Padahal…ya padahal, saya kepingin bercerita dengan Pak Slamet, seorang buruh pabrik yang saya kagumi karena ketelatenannya merawat sepeda merek Gazzele yang senantiasa berbunyi cik-cik-cik…, lantaran Pak Slamet tak pernah telat menggosoknya pagi dan sore. Tapi sayang, Pak Slamet ternyata telah wafat tiga tahun lalu.

Ah, saya mendadak sedih saat melihat Mbok Cunggret yang kini telah renta. Dia hampir-hampir tak mengenali saya. Dia lah yang dulu rajin memberi rebung-rebung pakis dan jamur tiap kali pulang dari hutan karet sehabis mengantar ransum buat Kang Marsin, suaminya.

Begitulah, orang-orang yang pernah saya kenal di perkebunan itu bagai daun-daun karet. Sebagian telah menguning tua, sebagian lainnya telah rontok dan menjadi humus tanah perkebunan itu.

Mereka yang masih bertahan, tak jua beranjak dari kemiskinan bahkan ketika usia senja telah tiba. Mereka masih papa, kendati keringat mereka telah turut serta memakmurkan para atasan dan pemilik perkebunan yang konon orang Inggris.

Pemerasan terus berlangsung secara berkesinambungan. Sebab, setelah orang tua mereka berhenti jadi buruh, giliran anak-anak mereka yang dulu kawan sekolah saya di SD meneruskan profesi orang tuanya sebagai buruh.

Aman, Pardi, Dul, Dasam, Imang, adalah di antara kawan-kawan saya yang masih bertahan di sana, meneruskan tradisi “perbudakan” di perkebunan. Saya hampir-hampir tak mengenali mereka. Saya sedih, sebab mendapatkan kawan-kawan sepermainan kini telah kisut kulitnya dan suram pandang matanya lantaran beban hidup yang kelewat berat.

Saya bertemu kembali dengan kawan-kawan saya di halaman pabrik. Seorang mandor pabrik yang bermisai bapang memanggil nama orang-orang yang saya cari.

Kami hanya bersalaman saja. Entah siapa yang mengomando, kelima kawan saya itu mundur dua tindak dari hadapan saya. Saya hanya tersenyum menyaksikan pemandangan ini tanpa ada keinginan untuk bertanya, “kenapa?”

Ya, saya sudah tahu jawabannya. Meski saya teman mereka di kala kecil, tapi kini saya telah menjadi mahluk asing bagi mereka. Garis demarkasi mendadak terlihat membentang di hadapan kami.

Agar jarak tak semakin melebar, saya segera berkata, bahwa saya masih kawan mereka. Tak ada yang berubah pada diri saya kecuali kini saya hidup di kota dan mereka hidup di tengah hutan.

“Beda saja, pak,” ujar Aman memanggil saya dengan sebutan Pak.
“Apanya yang beda?” tanya saya.
“Baju bapak bagus,” Aman menyahut.
“Dan wangi,” Dasam menyusul sambil tertawa kecil.

Saya pun tersenyum kecut, menyesali ketololan saya yang telah menyemprotkan parfume ke baju, seolah hendak berangkat ke kantor waktu hendak menuju perkebunan dari rumah ibu di Wangon.

Untuk mencairkan suasana, saya pun menawari mereka rokok yang sengaja saya beli buat merka di jalan tadi, seraya mengajak mereka duduk di bawah pohon kenari (Canarium commune). Di pohon inilah dulu saya bersama mereka suka mencari buah kenari untuk dimakan isinya atau dibuat hiasan semacam liontin.

Mulailah kami bercerita tentang kenangan masa lalu. Kini, tak ada lagi yang memanggil saya Pak. Bahkan mereka memanggil saya Gundul, sebuah panggilan buat saya di waktu kecil lantaran ibu gemar menggunduli rambut saya.

Setelah lewat pertanyaan-pertanyaan standar tentang anak, istri, serta pekerjaan, kami pun tenggelam dalam kenangan masa kanak-kanak. Dan ketika kami mengapung kembali ke dunia nyata, saya mendapatkan kembali kesuraman di mata kawan-kawan saya.

Mereka pun mulai mengeluhkan masa depan anak-anak mereka yang banyak. Pemerintah boleh kecewa lantaran Keluarga Berencana gagal di perkebunan ini. Tapi kawan-kawan saya juga punya alasan yang masuk akal kenapa anak-anak mereka lahir berendeng. Sebab, kata mereka, setelah lampu mati sekitar pukul sepuluh malam (sesuai kebijakan manajemen perkebunan), cuma ranjang yang jadi hiburan mereka. Di luar itu, anak adalah buah dadu yang memberi kemungkinan untuk memperbaiki nasib mereka di hari tua.

Ya, ya…, ini memang ujud keputus-asaan setelah mereka meyakini nasib mereka tak akan pernah berubah selain sebagai buruh penyadap karet. Sebuah keyakinan yang juga pernah dirasakan oleh orang tua mereka yang menyebratkan anak-anaknya untuk belajar jadi buruh sebelum lulus sekolah dasar.

Pas matahari di puncak kepala, kami pun menyudahi pertemuan. Kawan-kawan saya mengaku cukup senang karena saya masih ingat mereka. Sebelum berpisah, Aman sempat berpesan supaya saya jangan melupakan dia dan warga perkebunan.

Sebulan setelah pertemuan itu berlalu, saya masih senantiasa ingat Aman dan kawan-kawan lain di perkebunan. Terutama, tiap kali berkendara mobil mengitari kota Jakarta. Sebab, getah karet yang diambil Aman dan kawan-kawan sejak pagi buta di hutan-hutan karet, kini telah menjelma ban mobil yang membawa pergi ke mana saya suka.

Wus! Wus!…Din! Din!

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com