Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antara Lenong dan Putusan MK

Kompas.com - 22/08/2014, 20:36 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono
 
Suasana kontras berlangsung pada saat bersamaan di kota Jakarta pada Kamis, 21 Agustus 2014 siang. Sementara di sekitar Monas sedang berlangsung saling lempar antara pengunjuk rasa pendukung Prabowo-Hatta, di Kota Tua Jakarta berlangsung pembukaan Festival Seni Budaya Nusantara.

Di sekitar Monas sedang tegang, di Kota Tua suasana sedemikian menyenangkan. Di sekitar MK sudah ada yang berdarah-darah; di Kota Tua ada ondel-ondel, anak-anak yang menari, ibu-ibu dari Komunitas Cinta Berkain yang berlenggak-lenggok di atas panggung, karnaval sepeda ontel, becak, tanjidor, dan lain-lain.

Saya sendiri tentu saja memilih berada di Kota Tua. Selain lebih menentramkan hati, juga karena perhatian saya terhadap kesenian dan kebudayaan lebih besar ketimbang terhadap dunia politik. Lagi pula, secara ideologis maupun emosional, saya tak berkait langsung dengan para pendukung Prabowo. Saya hanya cukup tahu saja, apa keputusan hakim Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan Pilpres 2014 yang bisa saya akses melalui televisi maupun berita online.

Saya lebih baik bersama para seniman lenong, berpantun dan bernyanyi tentang kehidupan sehari-hari, ketimbang terjebak pada urusan yang saya tak sanggup memahaminya. Bayangkanlah saudara, bagaimana bisa Pilpres yang berlangsung secara transparan dituduh curang. Bayangkanlah saudara, bagaimana mungkin Jokowi yang tidak didukung oleh mayoritas partai--dan di antaranya adalah partai berkuasa--, mampu memengaruhi Komisi Pemilihan Umum untuk berpihak kepadanya.

Lebih baik saya bersama anak-anak pramuka yang mengibarkan bendera semapur seraya menyanyikan Kebyar-kebyar karya Gombloh. Sebab darinya, saya beroleh semangat yang murni dari anak-anak SD untuk mencintai negeri ini dengan tulus. Ya, dengan tulus, tanpa harus menjadi seorang presiden terlebih dulu baru berkata mencintai negeri ini. Jadi apa pun profesi kita, entah pramuka, tukang parkir, guru, wartawan, atau profesi apa pun, Indonesia adalah darah kita.

Indonesia ...Merah Darahku, Putih Tulangku
Bersatu Dalam Semangatmu
Indonesia ...Debar Jantungku, Getar Nadiku
Berbaur Dalam Angan-anganmu

"Ssssttt... tapi di sekitar patung kuda dekat Monas juga menyeru jargon-jargon cinta negeri," kata kawan di sebelah saya.
"Tapi nadanya penuh amarah, tidak seperti anak-anak pramuka itu yang menyebarkan semangat sekaligus kedamaian," ujar saya.
"Barangkali karena kita disayang Tuhan, jadi hari ini, detik ini, kita dikirim ke sini, tidak ke sana," sambung kawan saya.
"Iya, sehingga tidak tersulut emosi kita," saya jawab sekenanya.
"Bukannya dulu ente demen banget meliput unjuk rasa yang berdarah-darah?"
"Iya, sampai kangen ledakan gas air mata dan letusan peluru hampa."
"Mungkin karena sekarang ente sudah uzur, jadi Tuhan mengirim ente ke tempat-tempat yag aman dan menyenangkan, hahaha."
"Kok ketawa? Mungkin memang benar pernyataanmu, dan saya mensyukurinya."

Sambil terus berbincang dengan kawan di sebelah, mata saya terus memantau perkembangan yang terjadi di sekitar Patung Kuda melalui tablet. Di sana ada berita yang mengabarkan, bahwa ribuan pendukung Prabowo-Hatta dipukul mundur oleh petugas gabungan yang bertugas di depan patung kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (21/8) siang. Mereka dihalau dengan mobil water cannon serta tembakan gas air mata.

Sekira pukul 14.30 WIB petugas melakukan tindakan tegas karena massa merangsek masuk ke daerah steril yang dijaga kawat berduri. Sebagian pendemo yang mengendarai mobil nekat nerobos penjagaan kawat berduri. Akibatnya, petugas yang bertugas di balik kawat bergerak cepat.

TRIBUNNEWS / HERUDIN Pendukung Prabowo-Hatta yang berada di mobil komando berusaha menyelamatkan diri dari kejaran polisi saat terjadi bentrokan di Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, karena memaksa mendekati Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Kamis (21/8/2014). Untuk membubarkan massa, polisi terpaksa menembakkan gas air mata dan meriam air.
Petugas lapis pertama menyuruh massa untuk turun dari mobil. Bersamaan dengan itu, mobil water cannon yang sudah disiapkan sejak pagi langsung menyemprotkan air ke arah massa. Petugas lainnya juga melepaskan tembakan air mata ke arah pendukung Prabowo yang ada di sekitar putaran Bank Indonesia.

Akibat tembakan gas air mata dan semprotan air ini, ribuan pendemo lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Mereka berlarian menuju kawasan Thamrin.

Mereka berlarian, kocar-kacir, menginjak, menerjang tanaman yang ada di taman kota. Maka tanaman di sekitar Patung Kuda pun rusak. Waduh! Inilah yang saya takutkan. Mengapa juga demi memenuhi hasrat untuk menyampaikan pendapat harus mengorbankan tanaman dan taman yang asri? Mengapa juga mereka tidak duduk manis di rumah atau di kantor jika hanya untuk mendengar keputusan para hakim di MK?

"Lihat bung, ada berita menggelikan nih," kata kawan di sebelah saya, sebut saja Rudi namanya.

Rudi pun lalu menunjukkan berita yang dimaksud. Di sana tertulis, "tiba-tiba saja ratusan pendukung Prabowo ini menyanyi, sujud syukur dan berpelukan. Mereka gembira karena mendengar kabar burung yang entah muncul dari mana, yang menyebut Prabowo-Hatta menang di MK. Padahal hingga kini belum ada putusan apa pun dari MK."

Semula saya hendak tertawa, tapi mendadak saya ingat kawan-kawan saya yang hingga detik ini masih mati-matian membela Prabowo. Di samping itu, tak etis bukan jika kita terbahak di atas derita orang lain?

Hari masih siang, para hakim MK masih membacakan putusan gugatan. Tapi dari para hakim yang sudah membacakan amar putusannya, arah putusan sudah mulai terang. Ya, rasa-rasanya putusan MK akan menolak semua gugatan kubu Prabowo.

Maka, setelah bersidang selama hampir tujuh jam, Majelis Hakim Konstitusi akhirnya memutuskan menolak seluruhnya permohonan pasangan nomor urut satu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dengan demikian, pasangan nomor urut dua, Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap menjadi presiden dan wakil presiden terpilih 2014-2019.

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Hamdan Zoelva, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (21/8) pukul 20.44 Wib. Pada saat putusan dibacakan, massa yang sore tadi ricuh di depan Gedung MK sudah mencair.

Tentu saja, tim hukum pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kecewa dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh permohonan perselisihan Pemilu Presiden 2014 yang diajukan pasangan nomor satu ini. Pasangan Prabowo-Hatta mengaku tidak mendapatkan keadilan di MK.

"Rasa keadilan yang tidak didapat di sini, dia punya logika sendiri. Keadilan itu mencari, mungkin di jalanan, mungkin di tempat lain, keadilan itu didapat. Makanya ada istilah street justice," kata anggota tim hukum Prabowo-Hatta, Eggy Sudjana, di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (21/8/2014).

Eggy menegaskan, keputusan MK akan mengakumulasi atau mentrigger. Bahkan putusan hakim MK meradikalisasi pendukung Prabowo yang merasa dizalimi.

Tidak ada satupun permohonan yang dianggap betul. Menurut Eggy, itu penghinaan akal sehat. "Karena seluruhnya ditolak, berarti sama juga menganggap kita ini 'goblok' banget gitu lho," kata Eggy.

"Hmmm... sampai segitunya si Egy..." celetuk Rudi.
"Hush, coba kalau kamu jadi Egy, tentulah galau juga," sahut saya.
"Iya, tapi jangan juga kegalauan Egy dan kawan-kawan berkepanjangan. Kita sudahi saja sampai di sini. Semua orang sudah capek. Ntar kalau mereka masih nggak terima dengan keputusan MK, kita semua ikutan repot. Jalanan macet, ribut-ribut. Kalau kita sudahi perkara ini kan kita bisa bekerja lagi dengan tenang, masing-masing kubu bisa berjabat-tangan lagi, akur lagi, happy lagi..."
"Semoga aja akan begitu kisah selanjutnya."
"Aku udah kangen sama kawan-kawan yang tempo hari mendukung Prabowo. Moga-moga sehabis ini kita bisa ngopi bareng lagi."
"Iya, aku juga kangen sama status-status indah sebagian kawan-kawan sebelum ada ramai-ramai Pilpres. Begitu Pilpres berlangsung, mereka memenuhi wall FB dengan status yang provokatif penuh fitnah dan kebencian."
"Iya, aku juga rindu...."
"Halah, sudah. Pake rindu segala, tuh lihat di panggung, si Jaya sedang nandak."
"Nandak gituan mah gue juga bisa."
"Coba..."
"Bawa badan pergi berkencan, barang berharga bawa ke sono. Putusan MK sudah dibacakan, semua orang harus legowo."
"Boleh juga. Punya yang lainnya?"
"Bali punya Kuta dan Kintamani, segar sehat hawa di Senggigi. Mari kita sudahi pertikain ini, agar rakyat bisa bekerja kembali."
"Aku juga bisa."
"Coba."
"Pepes peda pakai kemangi, dimakan pakai nasi dan lada. Kalau Pilpres ada lagi, jangan kasih tahu dia."
"Emang kenapa?"
"Habis dia gitu orangnya..."
"Kenapa?"
"Ya..., gitu deh. He he he..."
"Sudah.. sudah..."
"Pis man! Sudah saatnya kita bercanda lagi tanpa disertai amarah dan kebencian."

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Nasional
Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com