Pemilu adalah momen krusial dalam menentukan pemimpin bangsa lima tahun ke depan. Kesalahan kecil dalam memilih pemimpin hari ini akan berakibat fatal di masa depan. Risiko fatalitas ini karena selalu saja ada jurang dalam antara ”horizon pengharapan” pada calon pemimpin yang diimajinasikan sebagai pemimpin ideal di masa kini dan kenyataan di masa depan, seperti selalu berulang di beberapa pemilu sebelumnya. Ada dua mekanisme psikis yang jadi landasan dalam menentukan pilihan pemimpin. Pertama, ”imajinasi”, yaitu bayangan, gambaran, lukisan, ilustrasi, atau potret ideal seorang pemimpin dalam pikiran seseorang, yaitu seorang pemimpin sebagai ego-ideal. Kedua, ”pemahaman”, yaitu pengetahuan, data, informasi, fakta, dan realitas, sebagai dimensi ”yang nyata” dari calon pemimpin. Pemimpin ideal adalah yang memiliki kecocokan antara imajinasi dan pemahaman utuh kita tentang dia.
Pertentangan muncul ketika ada kontradiksi antara imajinasi dan pemahaman utuh tentang seorang calon pemimpin. Pemahaman yang memerlukan kecakapan nalar-rasional untuk mendapatkan ”kebenaran” tentang seorang calon pemimpin—dengan menggali data, informasi, dan fakta-fakta otentik tentangnya sehingga memperoleh gambaran utuh-menyeluruh—digerogoti oleh kekuatan ”nir-nalar-irasional”, saat orang dikendalikan gambaran sepotong-sepotong tentang seorang kontestan (Zizek, 2000).
Kondisi asimetris antara imajinasi dan pemahaman menggiring beroperasinya ”mitos” dalam politik, di mana ”imajinasi murni”—imajinasi tentang seorang calon pemimpin yang tak didukung pemahaman utuh—diyakini sebagai kebenaran tentang calon pemimpin tersebut. Media sosial adalah ladang subur tumbuhnya imajinasi murni tanpa realitas ini, yang mengondisikan irasionalitas dan politik, yaitu mitos-mitos politik tanpa nalar sehat. ”Irasionalitas politik” dalam konteks pemilu adalah kondisi saat orang menentukan pilihan politiknya, tetapi tak didukung pemahaman utuh tentang pilihannya. Imajinasinya tentang sosok pemimpin sebagai ego-ideal—ia mengidentifikasikan diri dengannya, seakan-akan ia adalah lukisan dirinya sendiri—telah mengaburkan mata rasionalnya tentang pemahaman yang diperlukan tentang diri calon pemimpin itu. Ia dihipnotis oleh ”aura” sang tokoh.
Irasional politik menempatkan figur idola sebagai yang ”mutlak” harus dimenangkan, sementara lawan politik sebagai ”musuh” yang harus dihancurkan. Padahal, keputusan ini dilandasi pengetahuan yang sama kaburnya tentang kawan dan musuh. Lawan politik diperlakukan sebagai musuh di atas kondisi absennya pengetahuan tentang mereka. Musuh ”adalah seseorang yang cerita kehidupannya tak pernah Anda dengar” (Zizek, 2008). Apabila Anda berupaya memahami ”sang musuh” dengan nalar rasional, boleh jadi ia sosok yang selama ini Anda idealkan. Menyambut pesta demokrasi yang kian dekat, rakyat diharapkan secara cerdas membaca ”aura sejati” para calon pemimpin masa depan bangsa, bukan ”aura palsu” yang diumbar melalui kampanye hitam di aneka media sosial dan media elektronik lainnya. ”Aura demokrasi” pada abad digital hendaknya dapat dibaca secara rasional-kultural dan rakyat harus cerdas serta peka dalam menangkap ”gestur politik” para calon pemimpin bangsa sehingga tak terperosok ke lubang yang sama: memilih pemimpin yang tak sesuai antara imajinasi dan realitasnya.
Yasraf Amir Piliang
Pemikir Sosial dan Kebudayaan