Sulastomo menyayangkan bahwa Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) belum berfungsi optimal sesuai UU SJSN. Padahal, DJSN nantinya harus mengawasi empat macam jaminan sosial: jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiunan, dan kematian. ”Sudah 69 tahun kita merdeka, kita tidak punya jaminan pensiun dan kematian. Ini sungguh sangat disayangkan,” katanya.
Dengan terjaminnya kebutuhan dasar, rakyat akan merasa senang hidup dan tinggal di Indonesia. Persoalan yang muncul seperti terlihat dalam pelaksanaan BPJS, tetap harus dicari solusinya. ”Kita tidak boleh putus asa. Kalaupun sekarang pelaksanaan BPJS belum sempurna, kita harus berupaya terus memperbaikinya. Di sinilah pentingnya peran DJSN,” katanya.
Mantan Ketua Umum PB HMI ini yakin bahwa hanya lewat SJSN, Indonesia akan bangkit dari keterpurukan. ”Program ini punya dampak ekonomi sangat luas. Selain memberi jaminan kebutuhan dasar, SJSN juga bisa menjadi media pembelajaran kepada rakyat bagaimana hidup bernegara yang bhinneka (plural) ini,” katanya.
Pluralis
Sebagai pluralis, dalam bergaul Sulastomo tidak pernah mempersoalkan latar belakang seseorang. "Platform saya, ya kepentingan nasional, bukan kelompok, apalagi agama. Saya yakin, tanpa SJSN Indonesia akan sulit maju," ujarnya.
Ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1998, Sulastomo mengungkapkan, sebuah lembaga konsultan ekonomi dan akuntansi Price Waterhouse Coopers (PWC) meramalkan bahwa negara yang tidak memiliki program jaminan sosial, akan paling lambat bangkit. ”Ramalan itu benar adanya. Kita lihat Korsel atau Jepang, jauh lebih cepat bangkit dibandingkan Indonesia, karena Korsel dan Jepang memiliki program jaminan sosial,” kata ayah tiga putra ini.
Dalam pergaulan, Sulastomo dikenal supel. Dia akrab dengan Ketua Umum PBNU Subhan ZE, bahkan pernah menitipkan istrinya, Nunuk Moerdiati, kepada Subhan ZE. ”Saya sangat dekat dengan beliau. Jadi, bukan hal aneh kalau saya menitipkan istri selama lebih satu bulan,” katanya dengan penuh senyum.
Ketika Kompas pamit pulang, dari dapur terdengar teriakan sang istri, bahwa dia sedang masak mi untuk kami. "Anda jangan pulang dulu. Anda sedang dibikinin mi oleh istri, insya Allah enak," katanya sambil tersenyum.
Mungkin karena dirasa terlalu lama, Sulastomo bertanya apakah masih lama. Sang istri menjawab kira-kira 10 menit lagi. "Saya tidak usah dikasih sayur," kata Sulastomo.
Sang istri pun menyuguhkan sendiri mi bikinannya kepada kami. Tanpa ditanya, sembari makan, Sulastomo bercerita bahwa dirinya sangat suka makan sayur bersama nasi dan daging, bukan mi.
"Saya masih makan apa saja, termasuk daging. Kalau kami terlihat bugar, karena tiap hari minimal dua jam kami selalu berolahraga. Kami keliling kompleks dua jam tiap hari,” katanya.
—————————————————————————
Sulastomo
♦ SD di Solo (1951)
♦ SMP Negeri IV, Solo ( 1954 )
♦ SMA Negeri I, Solo (1957)
♦ Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Jakarta (1964)
♦ Master of Public Health, Ilmu Kesehatan Masyarakat, University of Hawaii, AS (1977)