Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelang Pilpres: Fenomena "Gelembung Politik" dan "Bom Waktu"

Kompas.com - 12/03/2014, 10:52 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com —
Menjelang pemilihan presiden (pilpres) tahun ini, hampir semua bakal calon presiden (capres) melakukan langkah-langkah pendekatan kepada rakyat seperti blusukan, atau "istilah" lainnya pencitraan. Pertanyaannya kemudian, benarkah pencitraan menjadi modal jitu bagi seorang capres?

Pertanyaan ini mendapatkan jawaban di dalam buku karya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang di beri judul Selalu Ada Pilihan (SAP). Buku setebal 808 halaman ini berisi hal-hal yang dialami SBY, baik sebagai Presiden RI selama dua periode, maupun sebagai pribadi yang dipaparkannya dengan sangat gamblang, terbuka, dan apa adanya.

Nah, soal bagaimana memenangkan pemilihan dan kemudian bagaimana menjadi Presiden RI yang sukses tampaknya menjadi bagian yang paling menarik di buku ini. Di bab 3 yang diberi tajuk “Ingin Jadi Presiden, Menangkan Pemilihan Mendatang”, SBY menulis banyak hal antara lain tentang apa saja yang dipersiapkan untuk ikut pemilihan presiden dan tentang cara berkampanye. Dijelaskan juga strategi, manajemen, dan sumber daya untuk pemilihan presiden, termasuk pola dan gaya kampanye yang dilakukan SBY dalam pilpres.

Bahkan, masih dalam buku itu, SBY mengakui ada pertanyaan yang lebih menohok, misalnya, SBY menang pemilu karena pencitraan? Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab SBY di halaman 374. Dalam pandangan SBY, siapa pun yang berkompetisi dalam pilpres pasti melakukan pencitraan.

“Untuk saya sendiri dalam Pemilu tahun 2004, baik legislatif maupun pilpres, saya malah tidak sempat untuk melakukan pencitraan diri secara optimal. Karena, begitu saya keluar dari kabinet, minggu itu pula saya langsung bergabung ke dalam kampanye Partai Demokrat. Sedangkan untuk Pemilu tahun 2009, sejarah mencatat bahwa justru banyak capres dan cawapres yang jauh hari sudah melakukan pencitraan. Rupa-rupa bentuknya. Sementara itu, saya masih terus menjalankan tugas sebagai presiden,” kenang SBY.

Pencitraan yang efektif memang diperlukan di masa kampanye. “Tapi sehebat-hebatnya pencitraan, tidak mungkin seorang kandidat akan berhasil dan sukses dalam pemilu jika tidak memiliki modal apa-apa. Artinya, harus ada yang bisa dijual. Harus ada yang bisa dipoles atau dicitrakan. Saya harus mengatakan bahwa pencitraan yang tepat dan cerdas akan bisa menaikkan popularitas dan elektabilitas sampai sekitar 10 persen. Orang yang sangat rendah popularitas dan elektabilitasnya, tidak semudah itu untuk didongkrak menjadi calon unggulan,” kata SBY.

Sekadar untuk berbagi pengetahuan, sebelum pilpres tahun 2004, elektabilitas SBY sudah mencapai lebih dari 40 persen. Perolehan angka itu sudah di atas elektabilitas kandidat capres terkuat lainnya seperti Megawati. Pada Pilpres 2009, elektabilitas SBY mencapai 71 persen.

“Barangkali fakta dan kenyataan inilah yang tidak terlalu sulit bagi saya sebagai salah satu kandidat untuk melakukan pencitraan,” analisis SBY.

Dengan pengalamannya itu, SBY berpesan, siapa pun capres dan calon wapres yang akan berlaga pada pilpres tahun 2014 harus berupaya untuk menambah modal. Tidak selalu materi, tetapi modal integritas, kapabilitas, dan juga akseptabilitasnya. Bukan memaksa meraih hasil dengan cara-cara instan dan artifisial.

Ada fenomena menarik saat ini dalam upaya mendongkrak popularitas seseorang dengan cara kilat, tetapi tidak ada isi di "dalamnya". SBY mengistilahkannya sebagai “gelembung politik”, yakni ketika ada seseorang figur yang ingin lekas populer dan melakukan aksi pencitraan secara masif dan besar-besaran dengan mengerahkan tim pencitraan yang sangat besar dan luar biasa.

Konsultan kondang dari dalam dan luar negeri pun dibayar mahal demi ambisi meraih popularitas dimaksud. Apa yang harus dilakukan di depan masyarakat benar-benar disetel oleh tim sukses agar kelihatan sempurna. Intinya, si figur tersebut harus menjadi sosok yang hebat dan luar biasa. Oleh karena itu, apa pun yang dilakukan si figur itu selalu menjadi berita besar sekalipun apa yang dilakukannya itu biasa-biasa saja alias tidak istimewa. Tim sukses yang kuat dan besar akan mem-bully siapa pun yang coba-coba mengkritik si figur tersebut.

Memang, cara itu efektif untuk menjadikan seseorang naik popularitasnya dalam tempo singkat. Namun, popularitasnya itu tak berlangsung lama. Cara yang sangat melelahkan dan biayanya juga sangat tinggi.

“Terus terang, kalau saya yang dicitrakan seperti itu saya tidak sanggup. Juga saya tolak. Berbahaya sesuatu yang amat direkayasa dan artifisial sifatnya, apalagi bagi seorang pemimpin. Apalagi bila gap-nya terlalu besar antara apa yang diharapkan untuk mengemban tugas menjadi presiden dengan integritas, kapabilitas, pengalaman, dan kesiapan tokoh yang berambisi itu,” jelas SBY.

Cara pencitraan seperti itu bisa meninggalkan "bom waktu". Paling tidak, jika "gelembung" itu pecah, rakyat akan tahu bahwa si tokoh itu tidak sebesar yang dicitrakan.

Pelajaran penting yang dapat diambil dari ilustrasi tersebut adalah bahwa pencitraan seorang capres memang penting, tetapi harus punya modal dan jangan melampaui batas. Modal integritas dan kapabilitas seorang capres lebih penting dari sekadar pencitraan itu sendiri.

Dikutip dari Situs Sekretariat Kabinet

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Peluang Usung Anies pada Pilkada Jakarta, PDI-P dan PKB Masih Mengkaji

Soal Peluang Usung Anies pada Pilkada Jakarta, PDI-P dan PKB Masih Mengkaji

Nasional
Soal Pilkada Jakarta, PDI-P Sebut Tak Cuma Pertimbangkan Elektabilitas Calon

Soal Pilkada Jakarta, PDI-P Sebut Tak Cuma Pertimbangkan Elektabilitas Calon

Nasional
Ngabalin Bantah Isu Jokowi Sodorkan Nama Kaesang ke Parpol untuk Pilkada Jakarta

Ngabalin Bantah Isu Jokowi Sodorkan Nama Kaesang ke Parpol untuk Pilkada Jakarta

Nasional
Saat Jokowi Perintahkan PDN Diaudit Imbas Peretasan, tapi Projo Bela Menkominfo...

Saat Jokowi Perintahkan PDN Diaudit Imbas Peretasan, tapi Projo Bela Menkominfo...

Nasional
Gagasan Overseas Citizenship Indonesia: Visa Seumur Hidup bagi Diaspora

Gagasan Overseas Citizenship Indonesia: Visa Seumur Hidup bagi Diaspora

Nasional
Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian II-Habis)

Nasional
[POPULER NASIONAL] Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P di Jakarta | KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

[POPULER NASIONAL] Titik Temu Mewujudkan Koalisi PKS dan PDI-P di Jakarta | KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

Nasional
Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian I)

Data PDNS Gagal Pulih karena Ransomware: Siapa Bertanggung Jawab? (Bagian I)

Nasional
Tanggal 1 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Antisipasi Serangan Siber, Imigrasi Siapkan Sistem 'Back Up' Data Cepat

Antisipasi Serangan Siber, Imigrasi Siapkan Sistem "Back Up" Data Cepat

Nasional
Puncak Hari Bhayangkara Digelar 1 Juli 2024 di Monas, Jokowi dan Prabowo Diundang

Puncak Hari Bhayangkara Digelar 1 Juli 2024 di Monas, Jokowi dan Prabowo Diundang

Nasional
4 Bandar Judi 'Online' Terdeteksi, Kapolri: Saya Sudah Perintahkan Usut Tuntas

4 Bandar Judi "Online" Terdeteksi, Kapolri: Saya Sudah Perintahkan Usut Tuntas

Nasional
Usai Bertemu Jokowi, MenPAN-RB Sebut Jumlah Kementerian Disesuaikan Kebutuhan Prabowo

Usai Bertemu Jokowi, MenPAN-RB Sebut Jumlah Kementerian Disesuaikan Kebutuhan Prabowo

Nasional
Imigrasi Ancam Deportasi 103 WNA yang Ditangkap karena Kejahatan Siber di Bali

Imigrasi Ancam Deportasi 103 WNA yang Ditangkap karena Kejahatan Siber di Bali

Nasional
Imigrasi Akui Sudah Surati Kominfo untuk 'Back Up' Data Sejak April, tapi Tak Direspons

Imigrasi Akui Sudah Surati Kominfo untuk "Back Up" Data Sejak April, tapi Tak Direspons

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com