Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/03/2014, 10:18 WIB

KOMPAS.com -
KITA  mengamini pernyataan anggota Komisi III DPR, Ahmad Yani, terkait terobosan proses seleksi hakim konstitusi yang melibatkan tim pakar. ”Ini sejarah baru,” kata Yani, yang mengungkapkan pentingnya tim pakar.
 
Tim pakar seperti menyembuhkan kekecewaan pemerhati Mahkamah Konstitusi dan pengamat hukum saat konsep panitia seleksi gugur dengan dibatalkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014. Dalam uji kelayakan dan kepatutan, hampir semua pertanyaan diajukan tim pakar. Kita hargai hasil kerja delapan anggota tim pakar. Selama tiga hari, dari siang hingga tengah malam, mereka menguji sebelas calon hakim konstitusi.
 
Namun, baik apabila Komisi III DPR terus menyempurnakan pencarian negarawan yang layak menjadi calon hakim konstitusi. Pertanyaan dari tim pakar, jika diamati, terkadang ”sangat keras”. Bukan soal substansi pertanyaan, melainkan cara bertanya. Tidak jarang, ketika calon hakim konstitusi menjawab langsung dipotong begitu saja.

Dari 11 calon hakim konstitusi yang diuji, seorang calon, yakni dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Atip Latipulhayat tampil menonjol. Atip, doktor filsafat dari Universitas Monash tersebut, diuji selama 2 jam 45 menit dari alokasi waktu 90 menit.

Inilah waktu ujian terlama calon hakim konstitusi. Apabila calon hakim konstitusi tak meyakinkan, tim pakar dan Komisi III hanya menguji kurang dari 90 menit. Ketika Atip ”lulus” dari ujian anggota tim pakar, Laica Marzuki dan Ahmad Syarifuddin Natabaya, Rabu (5/3), anggota Koalisi Penyelamat MK menarik napas lega. Baru Atip yang mampu ”meladeni” tim pakar.

Bicara soal syarat ketatanegaraan, dua hakim konstitusi terpilih, yakni Wahiduddin Adams dan Aswanto, bukan ahli hukum tata negara. Ni’matul Huda, dosen Universitas Islam Indonesia, yang ahli tata negara justru meraih suara paling sedikit dari empat nama yang direkomendasikan tim pakar.

Pilihan Komisi III DPR, terlepas dari tim pakar yang ikut menyeleksi, seolah mempertegas keengganan ahli hukum tata negara seperti Satya Arinanto mendaftar seleksi via DPR. ”Saya tak punya dukungan politik,” ujar Satya.

Seusai Rapat Paripurna DPR, kemarin, dua hakim konstitusi terpilih, Wahiduddin dan Aswanto, berjanji menolak lobi-lobi politik yang dapat memengaruhi kinerja hakim konstitusi.

Dalam rapat itu, Ketua Komisi III DPR Pieter Zulkifli melaporkan dua hakim konstitusi terpilih. Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Pramono Anung menerima hasil kerja Komisi III.

Wahiduddin adalah mantan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta anggota Dewan Penasihat MUI Pusat. Aswanto adalah mantan anggota Tim Seleksi Dewan Kode Etik MK dan Ketua Tim Seleksi Rekrutmen Panwas Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan.

Kepada dua hakim konstitus baru ini, harapan perbaikan citra MK diletakkan. (HARYO DAMARDONO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com