Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MA, Polri, BNN, PPATK Keberatan RUU KUHAP

Kompas.com - 28/02/2014, 10:48 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com
— Kepolisian Republik Indonesia, Mahkamah Agung, Badan Narkotika Nasional, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan keberatan terhadap ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ketentuan RUU KUHAP dinilai dapat mengurangi atau melemahkan kekuasaan aparat penegak hukum untuk menangkap koruptor, termasuk pelaku kejahatan narkotika, dan terorisme sebagai kejahatan luar biasa.

Ketentuan RUU KUHAP juga dapat membuat hukuman bagi terdakwa perkara kejahatan korupsi, narkotika, dan terorisme sebagai kejahatan luar biasa menjadi berkurang.

Hal itu diungkapkan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Gayus Lumbuun, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Anang Iskandar, dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman di Jakarta, Kamis (27/2/2014).

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan secara tegas menyatakan, apabila pembahasan RUU KUHAP dan KUHP tetap diteruskan, pemerintah dinilai mengingkari komitmen dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan lain.

Gayus Lumbuun mengungkapkan, ketentuan dalam RUU KUHAP yang dapat memberatkan hakim adalah adanya ketentuan bahwa hakim tidak boleh menambah hukuman di tingkat kasasi. ”Ini menjadi masalah besar,” katanya.

Ia mencontohkan, jika seorang terdakwa perkara korupsi dituntut dengan dakwaan alternatif dan subsider, tugas hakim adalah mempertimbangkan aspek hukum. Jika memang terbukti ada pasal-pasal yang dilanggar terdakwa dan hukuman perlu ditambah, bagaimana hakim dapat memutus jika ketentuan dalam RUU KUHAP seperti itu tetap ada.

Sementara itu, M Yusuf mengkhawatirkan muatan RUU KUHAP yang mengharuskan penyadapan melalui penetapan hakim. Jika penyadapan oleh KPK, misalnya, harus melalui penetapan hakim, menurut Yusuf, informasi terkait penyadapan itu dikhawatirkan dapat bocor. ”Kewenangan atau kekuasaan untuk menangkap koruptor makin kecil,” katanya.

Anang selaku Kepala BNN juga mengungkapkan, dalam konvensi internasional tentang narkotika, proses penyelidikan berupa pengawasan terhadap proses penyerahan narkotika (control delivery) dan pembelian narkotika secara tertutup (undercover buy) diakui.

Oleh karena itu, Anang mengingatkan, jangan sampai ada ketentuan yang dapat menghilangkan proses penyelidikan yang diatur dalam UU Narkotika, termasuk proses penyelidikan yang diakui konvensi internasional. ”Penyelidikan merupakan bagian penting dari penyidikan,” katanya.

Jenderal (Pol) Sutarman berpandangan, ketentuan mengenai hakim pemeriksa pendahuluan dalam RUU KUHAP juga akan sangat menyulitkan penyidik Polri di lapangan.

Dia mencontohkan, jika polisi menangkap tersangka di sebuah desa terpencil atau di sebuah pulau kecil yang sulit dijangkau, polisi diharuskan meminta penetapan penahanan tersangka kepada hakim pemeriksa pendahuluan yang bertempat di ibu kota kabupaten atau kota. Dengan kondisi geografis di Indonesia seperti ini, sulit menerapkan ketentuan mengenai hakim pemeriksa pendahuluan.

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suhardi Alius juga mengingatkan, dalam pengungkapan kejahatan narkotika, terorisme, dan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, proses penyelidikan dan penyidikan merupakan satu kesatuan proses hukum yang sulit dipisahkan. ”Penangkapan tersangka kasus terorisme, narkotika, dan korupsi itu melalui proses penyelidikan yang panjang. Tidak bisa ujug-ujug disidik begitu,” kata Suhardi.

Ia mencontohkan, dalam pengungkapan kasus terorisme, penyelidikan atau proses surveillance biasanya dilakukan berbulan-bulan untuk dapat menangkap tersangka. Selain itu, masa penahanan terhadap tersangka terorisme pun lebih lama untuk kepentingan proses penyidikan.

Parpol hampir seragam

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com