Tahun pemilu ini bukan hanya tahun penentuan, melainkan juga tahun saat kita sebagai bangsa dapat membangun kembali karakter bangsa, termasuk aparat negara untuk berani menyerempet bahaya (vivere pericoloso) sesuai dengan hati nuraninya menyingkirkan semua yang jadi penghalang (rawe-rawe rantas, malang-malang putung) bagi berkembangnya demokrasi dan kejayaan negeri ini.
Tak mau menodai pemilu
Kita tidak sedang hidup dalam suasana yang berbahaya atau menakutkan seperti yang digambarkan penulis Australia, Christopher Koch, dalam buku (kemudian difilmkan) The Year of Living Dangerously mengenai situasi Indonesia menjelang 30 September 1965. Kita juga tidak dalam situasi politik yang memperhadapkan ideologi Pancasila dan Islam seperti pada era 1950-an dan era Orde Baru.
Dalam konteks itu, Megawati mirip dengan Bung Karno yang tak mendikotomikan nasionalisme dan Islam. Apabila Soekarno dulu memberi kesempatan kepada tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, untuk membentuk kabinet pada 1950, Megawati selalu memikirkan bagaimana memberi peran kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam politik Indonesia kini dan masa depan. Megawati juga mirip dengan PM Burhanuddin Harahap yang, ketika berada di puncak kekuasaannya, tak ingin menodai pemilihan umum yang demokratis pada 1955 dan 2004 hanya demi kelanggengan kekuasaan diri atau partainya.
Apabila bacaan penulis atas pikiran politik Megawati benar, bukan mustahil pada saat yang tepat ia memutuskan ”bukan untuk maju kembali”, melainkan ”mengucap permisi” dan memberi jalan bagi Jokowi memimpin negeri ini. Semua ini demi Indonesia Raya.
Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.