KOMPAS.com -
Empat tahun setelah resmi menggantikan Soekarno sebagai Presiden RI, Soeharto menggelar pemilu pada 5 Juli 1971. Hajatan politik nasional itu memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi dan kabupaten. Ini pemilu pertama pada masa Orde Baru.

Total ada 10 partai politik yang bertarung kali ini dan hanya delapan parpol yang meraih kursi. Muncul dua partai baru, yaitu Golongan Karya (Golkar) dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tak lagi ikut serta karena dibubarkan, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pemilu menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup dan semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Golkar menang dengan mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR). Disusul Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,6 persen suara (58 kursi), Parmusi dengan 5,3 persen suara (24 kursi), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan 6,9 persen suara (20 kursi), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan 2,3 persen suara (10 kursi).

Menurut sejarawan Anhar Gonggong, Golkar sudah diperkirakan bakal menang secara merata meski baru kali pertama ikut pemilu. Sekretariat Bersama Golkar dijadikan kendaraan politik Soeharto. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh jaringannya, pegawai negeri sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), serta birokrasi di semua tingkat menjadi alat untuk memobilisasi rakyat dari pusat sampai ke desa-desa agar memilih Golkar.

Soeharto dengan berbagai cara, kata Anhar, berusaha melemahkan kekuatan parpol besar lain sambil membesarkan Golkar. Soal nama, misalnya, tidak digunakan istilah ”partai”, tetapi ”golongan”. Padahal, dalam praktiknya, Golkar jelas-jelas partai politik. Mulai tumbuh gagasan Dwifungsi ABRI sebagai kekuatan militer sekaligus politik praktis penyokong Orde Baru.

Struktur panitia pemilu diduduki para pejabat pemerintahan, terutama dari Departemen Dalam Negeri. Saat hari pencoblosan, tempat pemungutan suara (TPS) dijaga
ketat polisi dan tentara. Saat itulah, mulai dikenal istilah ”seranga fajar”, yaitu pemberian uang kepada warga pada pagi hari sebelum datang ke TPS agar mencoblos partai pemerintah. Dengan semua manuver itu, walhasil Golkar pun menang telak.

Tujuan Pemilu 1971 sebenarnya baik, yaitu menciptakan kehidupan politik bangsa Indonesia yang demokratis setelah tragedi politik 30 September 1965. ”Sayangnya, pemilu direkayasa dengan cara-cara yang justru antidemokrasi. Berbagai aturan dan tata cara dimanipulasi untuk memenangkan Golkar sebagai mesin politik rezim Orde Baru. Inilah pseudo democracy atau demokrasi semu yang mengelabui rakyat,” kata Anhar, yang saat itu menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Dalam Pemilu 1971, beberapa partai masih memperoleh suara cukup lumayan karena mampu mempertahankan pendukung tradisionalnya. NU masih punya basis kuat di pedesaan, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan. Parmusi, yang seakan merupakan penjelmaan dari politik eksponen Masyumi, masih berakar di masyarakat Islam perkotaan.

Menang pada Pemilu 1955, NI justru anjlok suaranya pada 1971. Partai ini menerima tuduhan terkait PKI—yang dikambinghitamkan dalam Peristiwa 30 September 1965. Basis pendukung nasionalisnya, terutama di Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara, digerogoti oleh Golkar.

Kemenangan Golkar dijadikan alat untuk melegitimasi rezim Orde Baru. Manuver politik demokrasi semu ala Pemilu 1971 lantas dikembangkan oleh Orde Baru untuk pemilu-pemilu berikutnya, bahkan dengan
cara-cara lebih frontal.

”Tak ada pemilu yang benar-benar demokratis selama Orde Baru. Semua sudah direkayasa dan tidak mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya,” kata Anhar Gonggong. (Ilham Khoiri)