Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kok Kaget Denny JA Terpilih Jadi Tokoh Sastra?

Kompas.com - 07/01/2014, 13:34 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Tidak perlu kaget dengan berita bahwa pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, terpilih menjadi salah satu dari 33 tokoh sastra berpengaruh di Indonesia sejak 1900.

Banyak orang yang menulis di media sosial, mempertanyakan bagaimana bisa nama seorang Denny JA yang dikenal luas oleh publik sebagai konsultan politik bisa masuk ke 33 tokoh sastra paling berpengaruh.

Namun bagi Puthut Ea, seorang Sastrawan asal Yogyakarta, masuknya nama Denny JA tersebut dalam daftar tokoh terpilih tak perlu ditanggapi berlebihan. 

Menurut Puthut, lewat tulisan di akun Facebook-nya, ketika kasus Denny JA muncul lalu merebak di media sosial, ia justru heran banyak orang yang merasa kaget. Seakan-akan persoalan Denny JA tidak mungkin terjadi di dalam kenyataan sosial kita.

"Ujug-ujug alias makjegagik," kata Puthut, Senin (6/1/2014).

Persoalan mendasar masyarakat lndonesia, menurut Puthut, memang belum berubah. Sebuah kejadian dianggap tidak punya tanah tempat akarnya bersembunyi, tidak punya rahim tempat bocah kenyataan "mbrojol".

Peristiwa dianggap terlepas dari persoalan sosial. Ia memberi contoh lain kasus Ratu Atut yang diobrolkan, seakan-akan jaraknya sangat jauh. Juga kasus Sitok Srengenge.

"Kasus Sitok diblejeti seakan-akan di dekat kita tidak banyak terjadi," ujarnya.

Puthut pun mempertanyakan apa yang aneh kalau Denny JA yang berlebih uang itu menukar modal finansialnya dengan modal sosial. 

Masih saja ada yang mencoba mengulik betapa lemahnya argumen yang menempatkan Denny ke dalam himpunan 33 tokoh yang berpengaruh di dunia sastra.

"Kok repot amat analisisnya? Panitia atau kuratornya jelas dibayar. Soal teori atau himpunan itu dibuat-buat saja supaya di dalam pembaiatan tidak terlalu vulgar. Makanya tidak usah repot juga bertanya soal 33. Mau 33 kek, mau 50, mau 100 ya tidak apa-apa yang penting bagi Denny dan panitia, nama Denny masuk," ujarnya.

"Apa persoalan Denny itu hal baru di dunia sosial dan kebudayaan kita? Kalau sampeyan bilang baru ya berarti cupet. Apa sih beda antara kasus Denny dengan kerajaan-kerajaan tertentu yang mengecer gelar untuk kaum politikus, intelektual, dan artis? Apa bedanya dengan kaum-kaum adat tertentu yang memberi gelar untuk mereka yang punya uang dan jabatan? Jadi ya enggak usah kagetan. Biasa saja," tambah Puthut.

Lebih jauh Puthut menjelaskan, yang lebih menyedihkan lagi ketika pokok soalnya terarah kepada Denny. "Lho apa salah Denny? Dia sudah mengeluarkan uang, mungkin juga sudah harus memotong urat malunya, kok masih disalahkan? Kalau sampeyan punya rumah, terus rumah tersebut disewa 10 kali lipat dari harga biasa, lalu dipakai untuk buka game center, kemudian ketika warga sekitar protes karena anak-anak mereka lebih sering main game, yang disalahkan paling utama yang menyewakan rumah atau yang menyewa rumah?" tanya Puthut.

Puthut juga mengatakan, tidak terlalu sulit untuk memakai teori ilmu sosial dan kebudayaan untuk membedah peristiwa ini. Ini hanya persoalan banyak orang kelaparan, dan ada orang yang membawa makanan.

Si pembawa makanan meminta syarat tidak hanya diberi ucapan terima kasih, tetapi juga dipuji. Tempat untuk memuji sudah dipersiapkan, lalu sesudah memuji dikasih makan lagi. Sesederhana itu, tidak perlu ndakik-ndakik.

"Oke kalau sampeyan masih protes melulu, kita dolanan. Kalau Denny JA meminta sampeyan untuk menulis resensi buku tentang 33 tokoh tersebut dengan nada yang positif, mau enggak? Tidak mau? Benar? Dibayar lho. Satu resensi yang kira-kira berjumlah 1.000 kata dibayar 5 juta rupiah. Enggak mau? Oke, kalau begitu dibayar 10 juta rupiah. Media massa yang mau memuat tidak usah Anda pikir. Sudah disiapkan. Bagaimana? Kok diam? Sudah gini saja, Rp 20 juta ya. Tunai. Oke? Enggak mau? Taek!" kata Puthut.

"Apakah kalau Anda menerima tawaran itu keliru? Ya enggak. Masak orang lapar kok keliru. Apes banget hidup kita kalau sudah lapar tapi masih juga keliru," tutup Puthut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com