Sayangnya, meski sudah disadari dan dirasakan pada Pemilu 2009, tidak ada upaya serius di DPR dan pemerintah untuk mengatasi dampak negatif dari pemilihan dengan suara terbanyak. Saat membahas Perubahan Undang-Undang Pemilu pada 2011 dan 2012, waktu lebih dihabiskan untuk membahas ambang batas parlemen, cara penghitungan suara, hingga syarat partai mengikuti pemilu.
Usulan tentang pemilu dengan menggabungkan sistem nomor urut dan suara terbanyak yang telah dipakai di beberapa negara Eropa dan Korea Selatan untuk mencari sisi baik dari kedua sistem itu tidak disambut mayoritas fraksi.
Wacana pembatasan biaya kampanye juga hanya jadi isu pinggiran yang akhirnya dilupakan. Usaha untuk memperkuat transparansi penggunaan dana kampanye dan mendesain sanksi yang berat dan menjerakan bagi pelaku politik uang juga tidak serius dilakukan.
Bahkan, saat Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan Peraturan Nomor 15 Tahun 2013, sejumlah caleg sempat menyampaikan keberatan karena dinilai mengganggu sosialisasi. Padahal, aturan yang mulai berlaku 27 September 2013 itu untuk menekan biaya kampanye. Lewat aturan itu, baliho atau papan reklame hanya untuk partai dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sementara calon anggota DPR dan DPRD hanya diperbolehkan memasang spanduk berukuran 1,5 meter x 7 meter. Setiap kandidat hanya dapat memasang satu spanduk untuk setiap zona.
Jangan-jangan, mayoritas dari 90 persen anggota DPR yang kini maju lagi di Pemilu 2014 memang menikmati biaya politik yang bukan main mahal ini karena sistem itu lebih memudahkan mereka untuk mempertahankan kekuasaan. Sebab, bukankah dengan pernah duduk di DPR bekal ”logistik” menjadi lebih memadai?
Dengan melihat sinyalemen itu dan kinerja DPR 2009-2014, wajar jika muncul pesimisme terhadap hasil Pemilu Legislatif 2014. Wajah DPR periode mendatang diperkirakan tidak banyak berubah.
Namun, harapan tetap perlu diusung. Pasalnya, masih ada caleg yang mencoba tetap bertahan pada keyakinan dan idealismenya. Meski mungkin tak banyak, mereka layak dipilih dalam pemilu mendatang. Sebagian rakyat juga semakin cerdas dalam pemilih wakilnya.
Para caleg ini pun tidak perlu terlalu percaya pada tawaran-tawaran lembaga-lembaga konsultan politik. Misalnya, ada yang menawarkan jasa Rp 1,5 miliar untuk menggalang 150.000 suara. Tawaran-tawaran ini sungguh tak masuk akal dan menipu.
Sejarah menunjukkan, lokomotif perubahan sering kali memang hanya diawaki oleh sebagian kecil orang. Di sebagian kecil orang ini, harapan layak diberikan. Jadi, caleg idealis tidak perlu pesimistis. Para pemilih pasti tahu memilih orang yang tepat. Jangan putus asa....
Baca juga: ”Quo Vadis” DPR Bersih dan Prorakyat (1)