Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biaya Politik yang Menjebak (2)

Kompas.com - 02/01/2014, 17:35 WIB

KOMPAS.com -
Biaya politik tinggi dianggap menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan menurunnya kualitas lembaga DPR. Hal tersebut membuat mereka tidak lagi berjuang untuk rakyat, tetapi hanya berkantor di Senayan untuk mengeruk uang negara guna mengembalikan miliaran rupiah yang telah dikeluarkan untuk berkampanye. Rekor tertinggi, konon, ada yang menyentuh angka Rp 22 miliar.

Biaya politik yang luar biasa jorjoran. Bayangkan, dengan modal dana Rp 22 miliar itu, setidaknya bisa menjalankan 44 unit usaha minimarket. Uang sebesar itu juga bisa digunakan untuk membeli kebun kelapa sawit di Kalimantan hingga 2.200 hektar.

Setelah ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah sistem pemilihan umum legislatif dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka, persaingan antarcalon anggota legislatif (caleg) memang menjadi sangat keras. Para caleg tidak hanya bertarung dengan caleg dari lain partai, tetapi juga bertarung dengan caleg separtai. Ini yang membuat para caleg pun akhirnya jorjoran mengeluarkan biaya politik untuk meraih kemenangan.

Seorang aktivis pun ada yang sampai mengeluarkan uang Rp 500 juta hingga Rp 1,2 miliar, sedangkan yang berasal dari birokrat, TNI/Polri, dalam kisaran Rp 1 miliar hingga Rp 1,5 miliar. Sementara kalangan pengusaha umumnya menghabiskan Rp 1,5 miliar hingga Rp 6 miliar.

Biaya politik pada Pemilu 2014 bahkan bisa lebih tinggi lagi. Banyak anggota DPR yang kembali maju sebagai calon anggota legislatif pun mengeluhkan besarnya biaya politik ini. Menurut mereka, biaya itu sudah hampir tidak masuk akal. Dari Juni sampai November 2013 saja sudah ada yang habis Rp 800 juta. Itu sudah 75 persen biaya kampanye pada tahun 2009 yang sekitar Rp 1,25 miliar. Banyak malah yang sudah habis lebih besar lagi, Rp 1 miliar lebih.

Saat ini, ”tarif” kampanye memang telah banyak berubah. Di Jawa Tengah saja, untuk membuat dan memasang sebuah baliho dibutuhkan setidaknya Rp 1 juta. Padahal, pada tahun 2009 hanya sekitar Rp 600.000. Pada tahun 2009, caleg yang memanfaatkan kaca belakang angkutan kota untuk kampanye cukup memberi pemilik angkutan kota Rp 300.000 tiap kendaraan untuk tiga bulan pemasangan. Namun, sekarang tarifnya sudah menjadi Rp 500.000. Terakhir, bahkan ada caleg yang sudah bersedia membayar Rp 800.000 tiap angkutan kota untuk tiga bulan.

Biaya mengumpulkan kader partai juga mahal. Satu kali pertemuan dengan 400 orang dibutuhkan sekitar Rp 30 juta. Selain untuk menyewa tempat dan konsumsi, uang itu juga untuk bekal transportasi peserta pertemuan.

Biaya itu belum termasuk uang untuk ongkos saksi di hari pencoblosan dan mengawal suara hingga ke Komisi Pemilihan Umum. Untuk mengamankan suara di hari-H, ada yang menawarkan Rp 200 juta untuk tiap kecamatan. Padahal, satu daerah pemilihan ada yang mencakup lebih dari 50 kecamatan, artinya Rp 10 miliar tidak akan cukup.

Pragmatisme juga seakan sudah menjadi keseharian. Pada saat pemilihan kepala desa Oktober lalu, untuk biaya transportasi datang dan pulang saja sudah Rp 100.000, belum uang saku Rp 50.000 sehingga total sudah Rp 150.000.

Kondisi ini pula yang akhirnya mendorong partai hanya merekrut orang-orang berduit sebagai caleg karena bisa membiayai partai, bukan orang-orang yang dipilih karena keahliannya dan kontribusinya bagi partai. Akibatnya, orang-orang ini pun akan mengambil banyak juga dari partai atau saat menduduki posisi-posisi strategis dalam jabatan pemerintahan ataupun DPR. Yang terjadi adalah sangat transaksional. Ada pola money, power, more money, more power.

Kondisi ini sangat mengerikan bagi bangsa karena jabatan publik akhirnya diisi orang-orang yang kompetensinya diragukan, apalagi integritasnya. Bangsa ini pun hanya menjadi korporasi semata.

Memang masih ada caleg yang berusaha idealis, tidak terpancing menggunakan politik uang. Mereka mengandalkan kedekatan hubungan serta program-program. Namun, cerita semacam ini semakin jarang terdengar.
Perubahan sistem pemilu

Keluhan tentang makin mahalnya biaya politik sebenarnya sudah muncul sejak Pemilu 2009. Persisnya, ketika sistem proporsional terbuka yang mensyaratkan keterpilihan dengan suara terbanyak mulai diterapkan.

Di satu sisi, sistem suara terbanyak, yang merupakan antitesis dari sistem nomor urut, menjadi satu cara mengatasi oligarki partai. Seorang politisi dituntut turun ke bawah menyapa konstituennya jika ingin terpilih. Ruang untuk ”kader jenggot”, yaitu politisi yang menempel pada elite partai dan mengabaikan rakyat, jadi semakin sempit.

Namun, sistem suara terbanyak juga membuat biaya politik semakin mahal. Persaingan tidak hanya antarpartai, tetapi juga di antara kader dalam satu partai. Kaderisasi di partai juga terancam karena popularitas dan modal lebih penting untuk memenangi pertarungan dibandingkan kompetensi.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com