Pembahasan Perppu yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 21 Oktober ini memang terbilang alot jika dilihat dari syarat penerbitan Perppu yang mendesak dan dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Penerbitan hingga pengiriman salinan Perppu ke DPR pun terbilang cukup lama.
Perjalanan tarik ulur Perppu MK dari pemerintah hingga di parlemen:
2 Oktober 2013
Penerbitan Perppu MK tak lepas dari peristiwa tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar atas dugaan menerima suap dari seorang pengacara bernama Susi Tur Andayani di rumah dinasnya oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akil pun langsung dibawa ke kantor KPK dan ditetapkan sebagai tersangka bersama Susi dan Deviardi, pelatih golf Akil.
Perkembangan selanjutnya, adik Gubernur Banten Ratut Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana (Wawan), juga ditetapkan sebagai tersangka. Akil disangkakan menerima suap dalam penanganan sengketa pilkada Lebak dan pilkada Gunung Mas.
Peristiwa penangkapan ini pun menggegerkan banyak pihak. Citra lembaga MK tercoreng. Selain itu, mulai muncul keraguan atas putusan-putusan sengketa pilkada lain yang ditangani Akil.
Setelah Akil tertangkap, Istana bereaksi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung memanggil enam petinggi lembaga negara pada 5 Oktober 2013 ke Istana Negara secara mendadak, seusai menghadiri peringatan HUT Tentara Nasional Indonesia di Bandara Halim Perdanakusuma. Enam petinggi lembaga negara yang hadir yakni Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie, Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sidarto Danusubroto, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo, dan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali.
Seusai menggelar pertemuan, Presiden SBY menyebut peristiwa penangkapan Akil sebagai sebuah tragedi politik dan penegakan hukum di Indonesia. Presiden pun merumuskan sejumlah langkah yang harus dilakukan untuk menyelamatkan MK. Salah satunya adalah menerbitkan perppu.
17 Oktober
Tiga belas hari setelah Akil ditangkap KPK, Presiden SBY mengeluarkan perppu pada Kamis (17/10/2013). Perppu dengan Nomor 1 tahun 2013 itu memuat tiga substansi. Pertama yakni penambahan persyaratan menjadi hakim konstitusi dengan latar belakang partai politik harus terlebih dulu non-aktif selama minimal 7 tahun dari partainya. Kedua, soal mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi dari presiden, DPR, dan MA yang harus terlebih dulu di seleksi oleh panel ahli yang dibentuk Komisi Yudisial. Dan ketiga, soal perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dipermanenkan.
18 Oktober
Setelah Perppu diterbitkan, MK langsung bereaksi. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan, tidak ada suatu hal mendesak yang harus ditindaklanjuti pihaknya terkait Perppu MK itu. Menurutnya, tidak ada aturan dalam perppu yang sangat mendesak untuk langsung dilakukan MK. Hamdan enggan berkomentar lebih lanjut soal isi perppu ini lantaran Perppu MK masih berpeluang digugat ke MK.
Sementara itu, Ketua Majelis Kehormatan MK Harjono mengklaim, pihaknya memiliki konsep yang lebih baik dari perppu yang telah disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Konsep tersebut terkait dengan lembaga yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap MK. Menurut Harjono, yang juga hakim konstitusi ini, pengawasan MKH yang permanen yang ada dalam perppu MK bersifat represif. Sementara itu, Harjono mengatakan pengawasan yang diperlukan MK adalah yang bersifat preventif. Belakangan, MK membentuk Dewan Etik sendiri.
Di parlemen sendiri, penerbitan Perppu MK juga mengundang polemik. Sejumlah fraksi seperti Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi PDI Perjuangan sudah sejak awal menolak isi perppu itu. Perppu itu dianggap diskriminatif terhadap keberadaan partai politik. Dengan perppu itu, Presiden SBY seolah mencurigai hakim yang berasal dari partai politik terkesan korup.
30 Oktober
MK memutuskan membuat Dewan Etik. Komisi Yudisial merespons, keputusan MK membuat Dewan Etik berdasarkan keputusan Ketua MK ini dinilai mendahului Perppu MK yang kini tengah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk disetujui.
21 November
Lebih dari sebulan Perppu MK tanpa kejelasan. DPR mengaku belum menerima salinan putusan Perppu MK dari pemerintah. Pada 21 November, pemerintah akhirnya memberikan secara resmi putusan Perppu MK ini ke Komisi III DPR. Pada saat itu pula, dilakukan pandangan mini-fraksi sementara. Hasilnya, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Gerindra menolak keberadaan perppu itu.
Dua fraksi mendukung yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Amanat Nasional. Dan tiga fraksi belum memberikan keputusan yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Golkar.
12 Desember
Pembahasan Perppu MK kini tinggal menunggu DPR, ditolak atau diterima. Namun, sementara DPR masih belum memberikan kepastian, MK sudah resmi membentuk Dewan Etik yang dinilai akan bersinggungan dengan Majelis Kehormatan Hakim permanen yang dibentuk berdasarkan perppu.
17 Desember
Sekretriat Gabungan (Setgab) akhirnya menggelar rapat di kediaman Ketua Harian Partai Demokrat, Syarief Hasan, pada malam hari. Seluruh partai koalisi hadir dalam pertemuan itu, kecuali Partai Keadilan Sejahtera yang mengaku tidak bisa hadir akibat kesibukan pengurus fraksinya. Di dalam rapat setgab ini dibahas soal Perppu MK. Rapat ini digelar setelah suara koalisi di DPR pecah. Sebelumnya, PKB, Golkar, PPP bersuara akan menolak perppu ini.
18 Desember
Komisi III DPR menggelar rapat pengambilan keputusan tentang Perppu MK dan dihadiri Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar. Pembahasan Perppu MK kali ini cukup alot. Jika sebelumnya kubu penolak Perppu MK lebih banyak, kini kekuatan itu berimbang dengan kubu yang menerima Perppu MK. Golkar dan PKB menyatakan dukungannya terhadap perppu ini bersama dengan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Amanat Nasional. Sementara Fraksi PPP mengubah sikapnya menjadi abstain. Tiga fraksi yang tetap menolak perppu, yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Hanura ditambah dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid menyatakan, penolakan fraksinya terhadap perppu karena MK sudah kehilangan momentum. Perppu ini dianggap telalu berlarut dalam penerbitan sehingga MK sudah bisa berjalan sendiri dengan mekanisme yang ditempuhnya. Dengan begitu, syarat genting yang memaksa pun tidak lagi berlaku.
Komisi III DPR pun memutuskan untuk melakukan voting di tingkat paripurna pada Kamis (19/12/2013) ini karena tak menemukan kata sepakat.
19 Desember
Rapat paripurna kedua terakhir sebelum DPR melakukan reses hingga tahun 2014 ini akan mengambil keputusan terakhir soal Perppu MK. Jika perppu tersebut disetujui, akan dibuat menjadi undang-undang. Jika perppu itu ditolak, seluruh proses yang berlangsung selama perppu itu diterbitkan akan otomatis gugur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.