JAKARTA, KOMPAS.com —
Sejumlah masalah masih ditemukan dalam daftar pemilih tetap Pemilu 2014. Padahal, Komisi Pemilihan Umum akan menetapkan DPT nasional, Senin (4/11/2013).

Sejumlah masalah di DPT tersebut ditemukan Kompas saat melakukan uji petik terhadap pengunjung Toko Buku Gramedia di sejumlah daerah. Dalam uji petik yang dilakukan pada Jumat dan Sabtu (2/11/2013), para pengunjung diminta mengecek apakah namanya ada di Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) dengan membuka laman http://data.kpu.go.id/dpt.php.

Dari 12 pengunjung Toko Buku Gramedia di Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta, yang diminta mengecek, data tiga orang di antaranya tidak cocok dengan yang tercantum di Sidalih.

Dalam uji petik terhadap 10 pengunjung Toko Buku Gramedia Trans Studio Mall, Makassar, Sulawesi Selatan, dua orang di antaranya tidak terdaftar di Sidalih. Satu orang lain ada di Sidalih, tetapi tanpa nomor induk kependudukan (NIK).

Melkior, pengunjung Toko Buku Gramedia Trans Studio Mall Makassar yang tak terdaftar di Sidalih, merasa kecewa karena Pemilu 2014 menjadi kesempatan pertamanya menggunakan hak pilih di pemilu.

Anehnya, Melkior mengaku terdaftar sebagai pemilih saat Pemilihan Kepala Daerah Kota Makassar, 18 September lalu.

Akbar Sakti juga tampak kecewa saat menjadi satu dari lima pengunjung Toko Buku Gramedia, Manyar, Surabaya, Jawa Timur, yang tidak tercatat di Sidalih. Dia juga kaget karena nama ayahnya, Sukarman, justru terdaftar. Padahal, Sukarman sudah meninggal Januari lalu.

Sementara itu, sejumlah pengunjung Toko Buku Gramedia Pandanaran, Semarang, Jawa Tengah, mengaku yakin terdaftar di DPT hingga tak perlu mengecek di Sidalih. Hal ini karena di rumahnya sudah dipasang stiker terdaftar Pemilu 2014.

Namun, Imam Makrub, pengunjung dari Desa Robayan, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, ternyata tak menemukan namanya di Sidalih. Saat mengecek nama istrinya, ia menemukannya. ”Saya tidak tahu, mengapa bisa begini,” katanya.

Sebelumnya, dari penelusuran Litbang Kompas terhadap 100 tempat pemungutan suara (TPS) yang dilakukan secara acak, didapat estimasi ada 68 persen TPS yang masih bermasalah karena belum semua pemilih mempunyai NIK. Jika dijumlah secara keseluruhan, terdapat 8 persen pemilih tanpa NIK.

Litbang Kompas bahkan menemukan TPS yang semua pemilihnya tak memiliki NIK, yaitu di TPS 11 di Kelurahan Masrum, Kecamatan P Dullah Selatan, Kota Tual, Maluku.

Anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, menduga TPS dengan tak seorang pemilih pun memiliki NIK itu merupakan TPS khusus yang berlokasi di lembaga pemasyarakatan. Ia mencontohkan, di Cipinang, Jakarta Timur, juga terdapat beberapa TPS dengan tak seorang pemilih pun mempunyai NIK.

Hal serupa terjadi pada TPS di beberapa pesantren dengan santri yang belum memiliki KTP karena saat ini masih berusia 16 tahun dan sudah 17 tahun pada 9 April 2014.

Menurut Ferry, saat ini masih ada 10,382 juta pemilih belum mempunyai NIK. Oleh karena itu, KPU meminta jajarannya memastikan pemilih tersebut memang berada di lapangan dan penyebab tidak adanya NIK. Hal ini akan dilaporkan KPU provinsi dalam rapat koordinasi Minggu ini.

Pemilih berkurang

Jumlah pemilih tetap di beberapa provinsi ternyata berkurang dari data sebelumnya. Dalam penetapan DPT yang dilakukan kemarin, KPU Provinsi Bali menetapkan jumlah pemilih di provinsi itu 2.941.157 orang. Jumlah ini berkurang 1.028 orang dibandingkan DPT Provinsi Bali sebelumnya, yakni 2.942.185 orang.

Di KPU Provinsi Jawa Tengah, jumlah pemilih tetap untuk Pemilu 2014 sebanyak 27.217.087 pemilih. Ini berarti ada pengurangan hingga 63.034 pemilih dibandingkan rekapitulasi yang dilakukan pada Oktober 2013 sebanyak 27.280.121 orang.

Ketua KPU Jawa Tengah Joko Purnomo mengatakan, penurunan jumlah pemilih itu disebabkan beberapa hal. Namun penyebab yang paling banyak karena ada pemilih ganda.

Sementara itu, lebih kurang 270.000 nama yang tercantum dalam DPT di Sulawesi Selatan masih belum valid. Namun, KPU provinsi itu tetap akan menyertakan nama-nama itu sebagai pemilih karena telah diverifikasi kebenarannya.

Delegitimasi pemilu

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tadjuddin Noer Effendi menyatakan, kekisruhan DPT merupakan masalah serius. ”DPT dijamin secara konstitusional. Jangan sampai penduduk wajib pilih ’digolputkan’ semata karena kesalahan administrasi,” katanya.

Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo menegaskan, daftar pemilih yang akurat menjadi dasar paling strategis bagi keberlangsungan tahapan pemilu demokratis.

DPT yang bermasalah, lanjut Arif, bisa menjadikan arena permainan dengan dua kemungkinan. Pertama, DPT dijadikan instrumen untuk melakukan kecurangan agar memenangi pemilu. Kedua, DPT menjadi instrumen untuk mendelegitimasi pihak yang memenangi pemilu. ”Kita tak ingin dua hal itu terjadi,” ujar Arif.

Dengan pertimbangan ini, Arif berharap KPU menunda penetapan DPT sampai betul-betul meyakinkan semua pihak bahwa data itu akurat dan kredibel.

”Daftar pemilih bukan soal administrasi, deretan orang di secarik kertas, melainkan kenyataan sesungguhnya tentang ketunggalan orang,” ucap politisi PDI-P ini di sela-sela rapat DPP PDI-P dengan petugas penghubung DPD partai di KPUD se-Jawa dan Sumatera untuk membahas DPT. Hasil rapat itu akan dijadikan masukan bagi KPU dan sikap PDI-P terkait DPT.

Terkait kemungkinan mundurnya penetapan DPT nasional, Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, KPU tetap mengupayakan menjalankan rekomendasi Bawaslu dan mengecek daftar pemilih sampai 4 November. KPU dan Bawaslu juga terus berkoordinasi memperbaiki daftar pemilih. Jika Bawaslu menilai masih diperlukan pengunduran waktu, KPU akan mengikutinya (VDL/INA/ENG/ABK/SON/WHO/COK/RWN/DEN/ETA)