JAKARTA, KOMPAS.com
Hamdan Zoelva dan Arief Hidayat akan memimpin Mahkamah Konstitusi periode 2013-2016. Keduanya menghadapi tantangan dan pekerjaan berat, terutama untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi yang kini berada di titik nadir lantaran korupsi.

Pemilihan pimpinan MK, Jumat (1/11) siang, berlangsung alot, khususnya posisi wakil ketua. Perlu tiga putaran untuk mendapatkan dukungan mayoritas (50 persen plus satu) bagi Arief Hidayat.

Pada putaran pertama, Arief (3 suara) bersaing dengan Patrialis Akbar yang konsisten mendapat 3 suara dan Ahmad Fadil Sumadi yang mendapat 2 suara. Putaran kedua, Arief unggul atas Patrialis dengan suara 4:3, 1 suara abstain. Putaran ketiga digelar hingga Arief mendapat 5 suara.

Sebelumnya, pemilihan Ketua MK berlangsung dua putaran. Pada putaran pertama, Hamdan memperoleh 4 suara, Arief 3 suara, dan Ahmad Fadil 1 suara. Pada putaran kedua, Hamdan langsung mengantongi suara mayoritas (5 suara), sementara Arief tetap 3 suara.

Setelah pemilihan, Hamdan mengungkapkan beratnya tugas dan tanggung jawab Ketua dan Wakil Ketua MK periode mendatang. Bersama hakim yang lain, ketua dan wakil ketua harus mampu mengangkat kembali citra dan kehormatan MK dari keterpurukan.

Untuk itu, Hamdan akan membuat sistem peringatan dini (early warning system) bagi hakim dan semua pegawai agar tidak terjatuh ke dalam pelanggaran etik. Untuk pembersihan MK, Hamdan bakal segera mengaktifkan Dewan Etik yang sudah dibentuk beberapa waktu lalu.

Praktisi hukum Taufik Basari menilai, seharusnya pimpinan MK yang terpilih tidak memiliki beban masa lalu dari dua kepemimpinan ketua sebelumnya (Akil Mochtar dan Mahfud MD). Pasalnya, terdapat sejumlah kritik terhadap kinerja hakim pada dua periode tersebut. Sebenarnya, akan lebih baik jika MK tidak memilih ketua dan wakil ketua pada saat ini ketika pengganti Akil belum ada.

Namun, karena sudah terpilih, Taufik berharap pimpinan baru MK bisa memberikan rasa optimisme masyarakat, melakukan pembenahan menyeluruh dan strategis. ”Ketua terpilih harus berjiwa besar mengakui adanya kelemahan di MK. Itu syarat awal agar bisa dilakukan perbaikan. Jangan hanya sekadar defensif, dengan menyatakan bahwa peristiwa yang lalu hanya perbuatan oknum,” ujar Taufik.

Perbuatan tercela

Sebelum pemilihan digelar, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai Harjono memberhentikan Akil, Ketua MK (nonaktif), secara tidak hormat. Akil terbukti melanggar UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, khususnya Pasal 23 Ayat 2 terkait perbuatan tercela serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Akil terbukti melanggar prinsip integritas, independensi, kepantasan, dan kesopanan di dalam Kode Etik (lihat Grafik).

Harjono mengatakan, pemberhentian dengan tidak hormat terhadap Akil tidak berkaitan dengan proses pidananya di Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini karena jika pemberhentian Akil didasarkan pada tindak pidananya, MK harus menunggu proses pidana hingga ada putusan yang berkekuatan tetap. Hal itu membutuhkan waktu lama.

Pemberhentian Akil, lanjut Harjono, tidak tepat jika didasarkan pada surat pengunduran diri sebagai hakim konstitusi karena itu berarti diberhentikan dengan hormat atas permintaannya sendiri. ”Berdasarkan bukti-bukti pelanggaran etika dan perbuatan tercela yang ditemukan Majelis Kehormatan, sangat beralasan untuk pemberhentian tidak dengan hormat,” ujarnya. Dengan diputuskannya kasus Akil, MKMK bubar.

Tidak dibahas

Terkait status Maria Farida Indrati dan Anwar Usman yang jadi anggota panel Akil, Harjono mengatakan, MKMK tidak memproses keduanya karena tidak ada laporan yang masuk. Hal senada diungkapkan Bagir Manan, salah seorang anggota MKMK. Pihaknya tidak menyinggung kedua hakim tersebut karena MKMK dibentuk khusus untuk pelanggaran etik Akil.

Akil melalui pengacaranya, Tamsil Sjoekoer, merasakan kejanggalan dalam keputusan MKMK. Bagi Akil, banyak pertimbangan dinilai tak berdasarkan bukti jelas terkait pelanggaran etik yang dilakukan. ”Pak Akil bukan tak mau diperiksa. Beliau bersedia diperiksa, tetapi dengan syarat terbuka,” ujar Tamsil yang dihubungi dari Jakarta.

Segera ganti Akil

Hamdan mengatakan, pihaknya telah menerima laporan tertulis hasil kerja MKMK. Selanjutnya, pihaknya akan mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera menerbitkan keputusan presiden (keppres) tentang pemberhentian Akil dengan tidak hormat.

Menurut ketentuan, pimpinan MK punya waktu tiga hari untuk menindaklanjuti laporan MKMK dengan mengirimkan surat kepada Presiden. Keppres tentang pemberhentian harus dikeluarkan 14 hari sejak menerima surat MK.

Berdasarkan keppres itu, MK akan mengirimkan pemberitahuan kepada DPR mengenai status Akil agar bisa segera dicarikan pengganti. Hamdan mengatakan, pihaknya tidak akan mendesak DPR agar segera mencari pengganti Akil.

Soal mekanisme seleksi yang akan digunakan DPR, apakah mengikuti ketentuan Perppu No 1/2013 atau menggunakan UU MK, Hamdan menyerahkannya kepada DPR. Pengganti Akil penting segera diisi karena posisi hakim ke-9 (ganjil) akan berguna ketika terjadi pengambilan putusan terkait perkara.

Selain itu, posisi Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi pun hingga kini belum aman. Keppres No 87/P Tahun 2013 tentang pengangkatan Patrialis dan Maria Farida sebagai hakim konstitusi saat ini tengah diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. MK bakal kerepotan jika PTUN Jakarta mengabulkan permohonan pembatalan keppres yang diajukan LSM yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan MK.

Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Alvon K Palma dan peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, menyayangkan terpilihnya Hamdan. MK dinilai tidak sensitif mengingat latar belakang Hamdan sebagai politisi.

Menghadapi tahun 2014, seharusnya dipilih Ketua MK yang dirasa dapat menjaga independensi saat pemilu. ”Ini soal rasa, ya, bukan soal kemampuan,” ujar Alvon. (ANA/RYO/BIL/PIN/MDN)