Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memperbincangkan Otoritas Negara dalam Penetapan Ramadhan dan Hari Raya

Kompas.com - 17/07/2013, 11:22 WIB

Muh Ma’rufin Sudibyo*

KOMPAS.com — Setelah sidang isbat penetapan awal Ramadhan 1434 H usai pada Senin 8 Juli 2013 lalu, konstelasi keragaman awal Ramadhan 1434 H di Indonesia pun terkuak sudah. Ribuan orang pengikut tarekat Naqsyabandiyah Padang (Sumatera Barat) mulai berpuasa pada Minggu, 7 Juli 2013, sementara jemaah an-Nadzir (Sulawesi Selatan) menyusul pada Senin, 8 Juli 2013.

Pada Selasa, 9 Juli 2013, giliran warga Muhammadiyah mulai berpuasa beserta (sebagian kecil) warga NU, khususnya pengikut tarekat tertentu, atau yang berdasarkan kesaksian Cakung (yang ditolak sidang isbat). Mayoritas sisanya mulai berpuasa pada Rabu, 10 Juli 2013, dengan mendasarkan pada Keputusan Menteri Agama ataupun mengikuti Saudi Arabia yang juga telah mendeklarasikan awal puasa pada waktu yang sama dengan Indonesia.

Meski sudah terbiasa dengan keragaman semacam ini, terlebih sebagian besar menganggap penetapan awal Ramadhan adalah bagian dari keyakinan insani yang tak perlu digugat; keragaman itu sekaligus mengundang tanya, di manakah sebenarnya posisi negara dalam konteks kehidupan keberagamaan Islam di Indonesia? Terlebih lagi, pelaksanaan sidang isbat kali ini diiringi sejumlah kritik dan kecaman karena dianggap sebagai tindakan yang sia-sia dan pemborosan belaka.

Kemudian pula beredar desas-desus, meski belum terbukti kebenarannya, yang menyatakan bahwa kegiatan sidang isbat menyedot dana APBN cukup besar, hingga Rp 9 miliar.

Di tengah kehendak zaman yang menjadikan pemborosan anggaran sebagai salah satu musuh bersama dan kian menguatnya tren pelemahan negara, tak pelak desas-desus itu menjadi isu seksi yang membuat penetapan awal Ramadhan oleh negara menjadi sasaran tembak, khususnya dalam konteks campur tangan terhadap kepercayaan warganya.

Fatwa

Pasca perbedaan Idul Fitri 1432 H (2011) yang menghebohkan, dalam kesempatan pertemuan dengan cendekiawan falak dan syariah serta perwakilan ormas-ormas Islam se-Indonesia yang diperluas, Menteri Agama secara mengejutkan meminta forum mengaji ulang posisi negara yang sesungguhnya dalam urusan penetapan awal Ramadhan dan hari raya. Pertemuan itu kemudian berpuncak pada Kesepakatan Cisarua 2011, mengacu pada tempat di mana pertemuan tersebut diselenggarakan.

Pertemuan menghasilkan sejumlah diktum kesepakatan. Salah satunya menegaskan otoritas penetapan awal Ramadhan dan hari raya di Indonesia tetap berada di tangan negara. Ada hal yang mengejutkan, yaitu tak ada satu pun ormas Islam yang mengajukan keberatannya terhadap diktum ini.

Bagaimana kedudukan negara dalam urusan peribadahan warganya, khususnya dalam penetapan awal Ramadhan dan hari raya, sesungguhnya telah menjadi bahan pemikiran sejak berdirinya Departemen Agama, yang kini menjadi Kementerian Agama.

Jejaknya terekam sejak setengah abad silam, sekitar tahun 1967, jika merujuk pada dokumen-dokumen sidang isbat. Pada 1972 sebuah organ khusus bernama Lembaga Hisab Rukyat (LHR) pun dibentuk. Lembaga ini terus berkembang dan berevolusi hingga kini menjadi Badan Hisab dan Rukyat (BHR). Ini adalah organ yang menghimpun para cendekiawan falak perwakilan setiap ormas Islam dengan peran pemerintah hanya sebagai fasilitator.

Dengan setiap ormas Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri terhadap penetapan awal Ramadhan dan hari raya, keberadaan BHR diperlukan untuk menjernihkan duduk persoalan kalender Hijriah di Indonesia dalam mencari titik temu yang memungkinkan di antara para pihak.

Semenjak berdiri hingga tahun 2011, keberadaan sidang isbat tak pernah digugat walaupun pertarungan gagasan, sanggahan, dan perdebatan keras, yang bahkan jauh lebih keras dibanding sidang isbat 1432 H (2011), kerap terjadi.

Periode tersebut merentang masa di antara kepemimpinan 10 menteri agama berbeda dan beragam latar belakangnya. Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan negara tentang penetapan awal Ramadhan dan hari raya berjalan relatif tanpa dipengaruhi kekuatan politis yang dominan ataupun pergantian kabinet.

Sebagai titik temu di antara hisab dan rukyat, yang hingga 2004 masih dipandang sebagai dua unsur berbeda, oleh karenanya mulai digagas konstruksi kriteria. Semula, Indonesia mengacu kepada kriteria Mohammad Ilyas yang menyatakan hilal merupakan Bulan dengan beda tinggi Bulan-Matahari lebih kurang 4 derajat. Pada 1998 disepakati adanya "kriteria" imkan rukyat, yang bersifat sementara dan mengandung tiga elemen tak terpisah, masing-masing tinggi Bulan lebih kurang 2 derajat, umur Bulan lebih kurang 8 jam, dan elongasi Bulan-Matahari lebih kurang 3 derajat.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Nasional
Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Nasional
Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com