"Kriteria" kemudian diadopsi dalam tingkat regional sebagai "kriteria" MABIMS. Seiring perkembangan waktu, "kriteria" ini diperbaiki menjadi imkan rukyat revisi sejak 2011, yang juga masih bersifat sementara dan atas dasar kesepakatan bersama semata. "Kriteria" sementara inilah yang kini digunakan sebagai basis takwim standar Indonesia, sembari menanti terbentuknya kriteria baru.
Permasalahan lain yang membayangi penetapan awal Ramadhan dan hari raya adalah (otoritas) mana yang berhak? Apakah ada di tangan pimpinan-pimpinan ormas, ataukah yang lain? Persoalan ini yang dicoba dijawab oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Upaya panjang itu menelurkan tiga keputusan berbeda, dua di antaranya dalam bentuk fatwa yang bersifat tak mengikat. Yang pertama adalah Fatwa Munas MUI tahun 1980 tentang Penentuan Awal Ramadhan, Awal Syawal/Idul Fitri, dan Awal Zulhijjah/Idul Adha. Fatwa ini mendeskripsikan berbagai pendapat para fuqaha (ahli hukum Islam) tentang penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri.
Komisi Fatwa MUI lantas berpegangan pada pendapat mayoritas (jumhur), yang menyatakan penetapan tersebut bersifat global sehingga rukyat di sebuah negara Islam dapat diberlakukan bagi negara-negara lainnya.
Namun, globalitas ini bersyarat sebab mengharuskan terbentuknya suprastruktur khusus yang berfungsi sebagai kadi internasional, yang sayangnya sampai saat ini belum bisa dibentuk. Sepanjang entitas tersebut belum juga terbentuk, solusi sementara adalah penetapan merujuk pada ketetapan setiap negara, yang berlaku juga dalam Idul Adha.
Fatwa tersebut lantas diperkuat Fatwa No 2/2004, yang menegaskan penetapan awal Ramadhan dan dua hari raya dilakukan oleh ulil amri, dalam hal ini Pemerintah RI melalui menteri agama, dengan memadukan hisab dan rukyat sekaligus sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.
Sebelum mengeluarkan keputusannya, menteri agama wajib berkonsultasi dengan MUI, ormas-ormas Islam, dan instansi terkait. Segenap umat Islam di Indonesia pun wajib menaati keputusan tersebut. Sebagai pelengkap adalah Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV tahun 2012 terhadap masalah-masalah strategis kebangsaan, yang di dalamnya pun membahas aspek-aspek ketaatan terhadap Pemerintah RI dan batasannya.
Undang-undang
Ketaatan dalam berbagai hal, termasuk dalam penetapan awal Ramadhan dan hari raya tidaklah mutlak, tetapi bersyarat. Syaratnya adalah bahwa kebijakan itu tidak bertentangan dengan syariat dan akidah, dilakukan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum, dan telah dimusyawarahkan dengan lembaga-lembaga keagamaan yang kompeten.
Jika syarat itu dipenuhi, maka kebijakan negara wajib ditaati umat Islam. Sebaliknya, jika kebijakan negara melegalkan hal-hal yang dilarang agama ataupun sebaliknya melarang hal-hal yang diperbolehkan, maka tidak boleh ditaati.
Dalam konteks ini, kebijakan pada hal-hal yang bersifat khilafiah, seperti penetapan awal Ramadhan dan hari raya, pun wajib ditaati atas pertimbangan kemaslahatan umum dan kepentingan publik. Untuk itu, umat Islam wajib meninggalkan egoisme kelompok.
Dalam koridor kepentingan publik ini pulalah cukup banyak aspek peribadahan umat Islam yang kemudian diatur negara lewat undang-undang, meski sejumlah khilafiah antar-mazhab terjadi. Contohnya adalah perkawinan yang diatur oleh UU No 1/1974. Demikian pula zakat dalam UU No 23/2011 dan wakaf dalam UU No 41/2004.
Terhadap aspek tersebut, relatif tak dijumpai penentangan publik meski nyata-nyata terjadi campur tangan negara.
* Muh Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.