Dalam persepsi publik masa kini, hisab dan rukyat kerap diposisikan berseberangan dan seakan saling berlawanan. Padahal, sesungguhnya dalam perspektif astronomi, keduanya ibarat dua sisi dari sekeping mata uang logam sehingga tak bisa dicerai-beraikan.
Rukyat menghasilkan data-data temporal (terkait waktu) kala Bulan berstatus hilal. Data-data tersebut lantas dapat dianalisis oleh hisab sehingga menghasilkan batas minimum matematis mencakup elemen geometris dan fisis Bulan saat berstatus hilal.
Batas minimum itu, di kemudian hari, menjadi persamaan prediktif yang membatasi Bulan saat berstatus sebagai hilal terhadap status-status lainnya. Persamaan tersebut dikenal dengan nama kriteria visibilitas atau lebih populer sebagai kriteria saja.
Pada gilirannya, kriteria visibilitas menjadi faktor pembatas nan tegas terhadap hasil-hasil rukyat yang diselenggarakan di kemudian hari, sehingga memastikan apakah produk rukyat itu bersifat sahih (valid) ataukah tidak. Bila sahih, maka produk rukyat merupakan data hasil pengukuran yang lebih teliti sehingga akurasi kriteria kian lama kian meningkat. Hal semacam ini merupakan langkah baku dalam dunia ilmu pengetahuan khususnya ilmu alam, di mana sebuah model matematis (teori) selalu dibandingkan terus-menerus dengan observasi-observasi berikutnya guna memperbaikinya dan sebaliknya prosedur obvservasi pun menjadi kian baik di bawah topangan model matematis termutakhir.
Kesatuan rukyat dan hisab yang tak terpisahkan telah cukup dipahami cendekiawan falak generasi terdahulu sebagai bagian pencarian panjang akan definisi hilaal. Secara harfiah hilaal memang bermakna sabit Bulan yang tertipis (termuda) pasca konjungsi. Namun, makna tersebut perlu diturunkan lebih lanjut sehingga mencakup aspek-aspek elemen geometris dan/atau elemen fisis Bulan.
Dalam era klasik yang berlangsung sejak awal mula peradaban Islam hingga sekitar lima abad silam, cendekiawan falak memusatkan perhatian merumuskan definisi hilaal dalam dua kelompok besar.
Kelompok pertama mengaitkan hilal dengan elongasi dan/atau beda tinggi Bulan-Matahari, seperti dilakukan al-Khwarizmi, ibn Maimun dan ibn Qurra’. Pada umumnya disimpulkan bahwa Bulan menempati status hilal jika elongasinya minimal 5 derajat dan beda tingginya minimal 13 derajat.
Sementara, kelompok kedua menekankan hilal sebagai fungsi dari Lag Bulan, seperti dilakukan oleh as-Sufi, al-Battani, ibn Sina, ath-Thusi, al-Farghani dan al-Kashani. Mereka umumnya menyimpulkan Bulan berstatus hilaal terjadi Lag Bulan minimal 48 menit, yang setara dengan beda tinggi Bulan-Matahari minimal 12 derajat.
Dapat dilihat bahwa pada saat itu, meski terdapat dua kelompok utama, mereka sama-sama menghasilkan kesimpulan yang hampir sama. Yakni Bulan menempati status hilal saat beda tingginya melebihi 12 atau 13 derajat.
Dibandingkan dengan masa kini, batasan ini terlihat ‘terlalu tinggi’. Namun, harus dicatat bahwa rukyat berbasis teleskop belum terdapat di era klasik, sehingga hanya sepenuhnya mengandalkan ketajaman mata tanpa alat bantu apapun.
* Muh Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.