Apa yang terjadi kemudian? Kokom pun mulai curiga terhadap semua hal yang dilihat dan dirasakannya. Lima buah jam dinding di rumah, tak ada yang sama menit dan detiknya. Bahkan adzan di televisi sebagai tanda baginya untuk mendirikan shalat, pun berbeda-beda antara satu stasiun televisi dengan lainnya.
Lepas dari urusan yang tampak, Kokom mulai beranjak ke perasaannya. Maka ia pun mulai menyangsikan cinta suaminya. Jangan-jangan..., kata Kokom dalam hati..., suamiku cuma baik di muka tapi busuk di hati. Jangan-jangan, di luar ia punya pacar baru. Jangan-jangan...
Makin dipikir, makin dirasa, tambah menggununglah perasaan curiga Kokom terhadap suaminya. Itulah soal, seharian itu Kokom ngendon terus di kamar.
Sebagai suami yang baik, Juha memaklumi betul kondisi isterinya yang sedang hamil muda. Bahkan, ia pun siap tenaga untuk pergi ke pasar jika tiba-tiba istrinya--entah atas nama perutnya sendiri atau atas nama ngidam-- perlu mangga muda atau buah-buahan asam lainnya.
Setelah sore menjelang, sementara sang istri masih berada di kamar, Juha pun mulai gerah hatinya. ’Nggak biasanya istri gue kayak gini,’ Juha bersungut sambil berjalan menemui istrinya.
Ketika pintu kamar terbuka, dilihatnya mata Kokom sedang menerawang ke langit-langit kamar. Dan..olala, ada air mata di pipinya. Juha segera menangkap gelagat ada yang tak beres pada istrinya.
Segera dihampiri pujaan hatinya itu seraya bertanya, "Ada apa denganmu cinta?"
’Nah kan, cinta...mulutnya penuh kata cinta, padahal di hatinya kepingin berbuat aniaya,’ kata Kokom dalam hati. Matanya tetap menerawang.
"Cinta, apa ada yang salah denganku?"
Kokom diam. Hatinya makin kecut. Kini ia miringkan tubuhnya membelakangi sang suami. Ia takut menatap pandang mata suaminya. Ia takut bisa membaca isi hati suaminya. Kokom gentar jika menemukan semua kecurigaan di otaknya menjadi kenyataan di mata suaminya.
"Kom...," ucap Juha. Kokom masih diam, tapi hatinya mulai bergetar ketika nama pemberian orang tuanya itu disebut oleh orang yang telah mendampingi hidupnya selama ini.
Pelan-pelan, dengan ekor matanya, Kokom melirik suaminya. ’Ia sedang tunduk. Sebentar lagi tentu ikut-ikutan menangis,’ ujar hati Kokom.
’Begitu selalu suamiku. Kalau tak berhasil menguasai diriku, ia akan tunduk. Setelah itu ia akan nangis. Kalau tangisnya pun belum mampu meredakan hatiku, dia akan segera pergi entah ke mana,’ lanjut Kokom dalam hati.
Nah, sebelum sampai pada fase meninggalkan dirinya, Kokom pun memberanikan diri memandang sempurna mata suaminya. Mata mereka bersirobok. Masing-masing mulai mengukur dan menakar kedalaman hati pasangannya.
Bagai seorang peselancar, Kokom langsung melaju di antara gelombang mata hati suaminya. Ia mencoba menemukan kesejatian suaminya. Kokom hanya kepingin yakin, orang yang ada di hadapannya kini adalah seorang suami yang baik ataukah seorang penjahat yang sekali waktu bisa saja mencekik lehernya sampai mati.
Tapi lantaran Kokom cuma anak perempuan Abah Minan yang cuma lulusan SMU yang tak pernah belajar psikologi apalagi ilmu kebatinan, mana bisa ia menemukan kesejatian suaminya.