Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasal Penghinaan Presiden Berpotensi Kembalikan Rezim Otoriter

Kompas.com - 07/04/2013, 21:24 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pasal tentang larangan penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Undang-undang Kitan Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai sebagai upaya mengekang kebebasan warga untuk berpendapat. Selain itu, pasal penghinaan yang sudah pernah dicabut Mahkamah Konstitusi tersebut juga dianggap bisa menimbulkan rezim otoriter.

"Apabila pasal ini dipaksakan masuk, maka ini patut diduga sebagai upaya untuk membungkam sikap-sikap kritis masyarakat kepada pemerintah (presiden) dan upaya mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di muka umum," ujar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Indra, melalui pesan singkat, Minggu (7/4/2013).

Indra menilai pasal larangan penghinaan terhadap presiden ini sebagai bentuk kemunduran berdemokrasi yang sudah berkembang di Indonesia pascaruntuhnya Orde Baru. "Pasal penginaan presiden berpotensi mengembalikan pemerintahan yang represif dan otoriter," katanya.

Indra berpendapat bahwa tolok ukur penghinaan presiden juga sangat rancu. Ia menilai pasal yang dimuat dalam RUU KUHP itu masih bersifat lentur atau biasa disebut pasal karet. Pasal itu bersifat multitafsir dan dapat disalahgunakan serta dapat berdampak negatif pada demokratisasi Indonesia.

Ia menyayangkan masuknya kembali pasal larangan penghinaan presiden itu, padahal pasal tersebut sudah pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi dan MK akhirnya mencabut pasal-pasal terkait penghinaan presiden tersebut. Pemerintah, disebut Indra, harus patuh pada keputusan MK ini.

"Sebagai pelaksana putusan pengadilan, pemerintah tak boleh abai dan arogan memaksakan pasal tersebut dihidupkan atau dimasukkan kembali ke dalam RUU KUHP," kata Indra.

Menurut Indra, harga diri presiden dibangun berdasarkan kebijakan yang pro-rakyat, program-program yang bisa menyejahterakan rakyat, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pemberantasan narkoba, dan pemberantasan premanisme. Selain itu, menjaga marwah Kepala Negara sebenarnya cukup dengan menampilkan sosok presiden yang berintegritas, cerdas, dan konsisten dengan program pro-rakyat.

"Bukan dengan upaya mengekang kebebasan berpendapat warganya di muka umum melalui pasal-pasal karet. Oleh karena itu, pasal penghinaan presiden dalam draf perubahan RUU KUHP sebaiknya dihapus," ujarnya.

Dalam RUU KUHP yang sedang dikaji oleh Komisi III DPR RI, pada Pasal 265 disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dapat di pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori IV. Adapun Pasal 266 menyebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wapres dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau dipidana dengan denda paling banyak kategori IV.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sidang Sengketa Pileg, PAN Minta PSU di 7 TPS Minahasa

Sidang Sengketa Pileg, PAN Minta PSU di 7 TPS Minahasa

Nasional
AHY Ungkap Koalisi Prabowo Sudah Bahas Pembagian Jatah Menteri

AHY Ungkap Koalisi Prabowo Sudah Bahas Pembagian Jatah Menteri

Nasional
Jokowi Minta Relokasi Ribuan Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang Dipercepat

Jokowi Minta Relokasi Ribuan Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang Dipercepat

Nasional
Caleg Tidak Siap Ikuti Sidang Daring, Hakim MK: Suara Putus-putus, Jadi Lapar...

Caleg Tidak Siap Ikuti Sidang Daring, Hakim MK: Suara Putus-putus, Jadi Lapar...

Nasional
Anies-Muhaimin Kunjungi Aceh Usai Pilpres, Ingin Ucapkan Terima Kasih ke Warga

Anies-Muhaimin Kunjungi Aceh Usai Pilpres, Ingin Ucapkan Terima Kasih ke Warga

Nasional
Bareskrim Polri Yakin Penetapan Panji Gumilang sebagai Tersangka TPPU Sah Menurut Hukum

Bareskrim Polri Yakin Penetapan Panji Gumilang sebagai Tersangka TPPU Sah Menurut Hukum

Nasional
Polisi Lengkapi Kekurangan Berkas Perkara TPPU Panji Gumilang

Polisi Lengkapi Kekurangan Berkas Perkara TPPU Panji Gumilang

Nasional
Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang

Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Bersama TNI AL, Polisi, dan Basarnas, Bea Cukai Bantu Evakuasi Korban Erupsi Gunung Ruang

Bersama TNI AL, Polisi, dan Basarnas, Bea Cukai Bantu Evakuasi Korban Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Prabowo Ingin Berkumpul Rutin Bersama Para Mantan Presiden, Bahas Masalah Bangsa

Prabowo Ingin Berkumpul Rutin Bersama Para Mantan Presiden, Bahas Masalah Bangsa

Nasional
Hanura Sebut Suaranya di Manokwari Dipindah ke PSI, Berdampak ke Perolehan Kursi DPRD

Hanura Sebut Suaranya di Manokwari Dipindah ke PSI, Berdampak ke Perolehan Kursi DPRD

Nasional
Gugat Hasil Pileg, Pengacara Gerindra Malah Keliru Minta MK Batalkan Permohonan

Gugat Hasil Pileg, Pengacara Gerindra Malah Keliru Minta MK Batalkan Permohonan

Nasional
Resmikan Warung NKRI Digital, BNPT Ingatkan Semua Pihak Ciptakan Kemandirian Mitra Deradikalisasi

Resmikan Warung NKRI Digital, BNPT Ingatkan Semua Pihak Ciptakan Kemandirian Mitra Deradikalisasi

Nasional
Klaim Ada Perpindahan Suara ke PKB, PKN, dan Garuda, PPP Minta PSU di Papua Pegunungan

Klaim Ada Perpindahan Suara ke PKB, PKN, dan Garuda, PPP Minta PSU di Papua Pegunungan

Nasional
Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com