JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dijadwalkan membacakan putusan atas perkara dugaan korupsi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan terdakwa Neneng Sri Wahyuni, Kamis (14/3/2013).
Putusan ini sedianya dibacakan pada Kamis pekan lalu. Namun, karena Neneng sakit dan dirawat di rumah sakit, majelis hakim Tipikor menjadwalkan ulang pembacaan vonisnya.
Tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam persidangan sebelumnya, menuntut agar Neneng dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan. Neneng dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait proyek pengadaan PLTS di Kemnakertrans 2008.
Selain hukuman penjara dan denda, Neneng juga dituntut membayar uang pengganti senilai keuntungan yang diterimanya dari korupsi PLTS, yakni Rp 2,66 miliar. Menurut jaksa, Neneng melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama terkait PLTS sejak proyek itu masih dalam tahap perencanaan.
Suami Neneng, Muhammad Nazaruddin, kata jaksa, memberikan uang 50.000 dollar AS kepada pejabat Kemnakertrans untuk memengaruhi pejabat agar memenangkan Neneng dalam proyek PLTS. Neneng meminjam bendera PT Alfindo Nuratama melalui Marisi Martondang (Direktur Administrasi PT Anugerah Nusantara) dan Mindo Rosalina Manulang (Direktur Marketing PT Anugerah Nusantara) mengikuti proses tender tersebut.
Mereka pun bersepakat dengan Timas Ginting (pejabat pembuat komitmen) untuk mengubah hasil komponen pengujian produk PT Alfindo sehingga memenuhi persyaratan teknis dan ditetapkan sebagai pemenang.
Setelah PT Alfindo ditetapkan sebagai pemenang tender dan menerima pembayaran dari Kemnakertrans, Neneng menguasai rekening perusahaan pinjaman tersebut. Dalam pelaksanaan proyek, menurut jaksa, Neneng mengalihkan pengerjaan utama proyek PLTS ke PT Sundaya Indonesia dengan sepakat memberikan fee kepada Direktur Utama PT Alfindo Nuratama, Arifin Ahmad.
Pengalihan pekerjaan utama kepada PT Sundaya Indonesia ini dianggap melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Perbuatan Neneng ini juga dianggap merugikan keuangan negara senilai Rp 2,7 miliar. Setelah PT Alfindo menerima pembayaran proyek PLTS Rp 8 miliar, Neneng memerintahkan anak buahnya, Yulianis, untuk membayarkan uang Rp 5,2 miliar ke PT Sundaya Indonesia.
Sementara itu, Neneng, dalam pledoi atau nota pembelaannya, membantah semua tuduhan jaksa. Dia mengaku hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang tidak tahu-menahu urusan Anugerah Nusantara, perusahaan suaminya. Neneng juga mengaku menyesal tidak segera pulang ke Indonesia setelah ditetapkan sebagai tersangka KPK. Neneng memilih buron dan tinggal di Malaysia hingga akhirnya tertangkap di kediamannya di Pejaten, Jakarta Selatan, tahun lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.