JAKARTA, KOMPAS.com - Walaupun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Internasional PBB 1990, tetapi di level nasional masih dibutuhkan kebijakan organik agar fungsi-fungsi dan mekanisme negara memiliki panduan operasional dan aturan tegas bagi yang melanggarnya.
Konvensi tersebut penting terintegrasi dalam setiap pembuatan kebijakan dan mekanisme kerja bagi pekerja migran dan anggota keluarganya, baik pada tingkat nasional dan daerah, salah satunya dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN) ini, sebagai bentuk kesungguhan negara untuk melindungi hak-hak pekerja migran.
Komnas Perempuan di Jakarta, Selasa (26/2.2013) mengapresiasi inisiatif DPR RI yang menyusun RUU PPILN sebagai satu upaya untuk memperbaiki sistem perlindungan kepada pekerja migran dan anggota keluarganya dan tata kelola migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Akan tetapi, RUU ini belum sepenuhnya merujuk Konvensi Migran 1990 yang telah menjadi komitmen negara dengan diundangkannya melalui UU No. 6/2012.
Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan melihat sejumlah isu krusial yang seharusnya mendapat perhatian serius dan diadopsi dalam RUU PPILN, antara lain Konvensi migran 1990 harus dipertahankan sebagai acuan dasar perlindungan migrasi, prinsip Hak Asasi Manusia tidak boleh samar, harus tegas sebagai basis perlindungan global dan universal, masih tidak jelas posisi, peran dan tanggung jawab negara maupun swasta dalam pengelolaan migrasi tenaga kerja di luar negeri, terutama terkait perlindungan.
Tanggung jawab perlindungan selain melekat pada negara juga pihak-pihak yang terlibat maupun yang mendapat keuntungan dalam proses migrasi. Tanggung jawab pihak non negara tidak menghilangkan kewajiban tanggung jawab negara untuk pemenuhan, perlindungan, pemajuan dan penegakan HAM. Selain itu juga harus ada kejelasan fungsi dan peran, fungsi perlindungan (operator dan regulator), pengawasan dan peran mana yang bisa dan tidak bisa didelegasikan pada pihak swasta.
Pengawasan dengan pelibatan publik belum terdiskripsi sesuai prinsip tanggung jawab negara dalam pemenuhan HAM. Perlu kejelasan hukum dan penghukuman untuk menghentikan impunitas pada tiap tahapan migrasi, baik persiapan, keberangkatan, masa bekerja dan kepulangan.
Harus ada Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), dengan mengacu pada Konvensi Kerja Layak PRT 189. Komnas Perempuan juga memandang pentingnya memastikan pemenuhan hak pekerja migran yang menjadi korban baik untuk pemulihan, bantuan hukum dan re-integrasi.
Menjelang pembahasan RUU PPILN antara Pansus dan Pemerintah yang akan dimulai pekan depan, Komnas Perempuan meminta kepada Pansus RUU PPILN dan pemerintah yang membahas RUU PPILN agar mengadopsi masukan penting Komnas Perempuan di atas, khususnya mengadopsi prinsip dan muatan penting dalam Konvensi Migran 1990 ke dalam RUU PPILN, sebagai upaya harmonisasi hukum sesuai dengan Konvensi tersebut dan siap untuk melaksanakannya.
Selain itu Komnas Perempuan meminta proses pembahasan ini dilakukan secara terbuka dan transparan serta melibatkan partisipasi publik yang lebih luas. Media dan Organisasi Masyarakat, Serikat Buruh dan LSM diharapkan agar turut mengawal proses pembahasan RUU PPILN ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.