Sebelumnya, Merpati menyetujui menyetor deposit karena ketika dilakukan pengecekan, TALG memiliki keberadaan meyakinkan. Kantornya berada di area elite Washington DC. Demikian juga dengan Hume Associates, yang menampung dana deposit, merupakan kantor hukum yang meyakinkan.
Pemilik TALG, Alan Messner, adalah mantan Vice President Investment dari BCI Aircraft Leasing di Chicago, sebuah perusahaan leasing besar. Mitra Messner adalah Jon Cooper, profesor hukum yang memiliki lebih 30 tahun pengalaman sebagai pakar hukum lingkungan, pengacara, akademisi, dan penasihat Pemerintah AS dan Bank Dunia.
TALG juga memberikan surat pernyataan security deposit bersifat bisa dikembalikan lagi (refundable) jika TALG gagal menyediakan pesawat. Uang deposit diamankan di pihak ketiga, yaitu firma hukum Hume Associates, sesuai dengan hukum Safekeeping Property di Amerika Serikat.
TALG sebenarnya hanya broker penyewaan pesawat, tetapi dalam persidangan terungkap bahwa peran broker dalam sewa pesawat sudah menjadi kelaziman bisnis. Pemilik asli pesawat yang disewakan adalah East Dover. Untuk meyakinkan, TALG telah melengkapi diri dengan perjanjian antara TALG dan East Dover.
Setelah mengirim deposit, Tony Sudjiarto, waktu itu General Manager PT MNA, berangkat ke Amerika Serikat dan melakukan inspeksi atas Pesawat Boeing 737-500 di Victorville, Amerika Serikat. "Hasil inspeksi menunjukkan pesawat dalam keadaan prima dan siap dikirim. Saat itu kami yakin TALG akan memenuhi komitmen penyerahan," kata Hotasi.
Namun, setelah ditunggu tiga pekan dari tanggal penyerahan 5 Januari 2007, TALG tidak dapat menyerahkan pesawat itu. Mereka mengirim e-mail menjelaskan alasan penundaan itu karena harga sewa harus dinaikkan.
Merpati akhirnya membatalkan kontrak dan langsung meminta pengembalian dana deposit. Namun, permintaan tak direspons positif. Maka, Maret 2007, Merpati mengajukan gugatan kepada TALG. Pada 8 Juli 2007 Merpati akhirnya memenangi gugatan.
Hasil investigasi Merpati menunjukkan bahwa beberapa hari setelah menerima transfer dari Merpati, Jon Cooper telah memindahkan deposit Merpati ke rekening pribadi sebesar 810.000 dollar AS dan membagi 210.000 dollar AS ke Alan Messner. Pengacara Merpati langsung mengejar aset pemilik TALG dan upaya pengejaran dilanjutkan dua periode direksi selanjutnya.
Bahkan, Mei 2008 Merpati meminta bantuan kejaksaan sebagai pengacara negara untuk mengejar uang itu. Namun, pengejaran tidak dilanjutkan oleh manajemen Merpati tahun 2010 karena alasan biaya.
Menurut Hotasi, sebenarnya Kedutaan Besar RI di Washington selalu membantu pengejaran ini. Berdasarkan informasi duta besar, pada Desember 2012, Jon Cooper sedang menjalani sidang pidana berat di pengadilan Washington DC yang telah dimulai sejak Mei 2012. KBRI selalu berkoordinasi dengan pihak Department of Justice (Departemen Kehakiman) AS untuk memonitor perkembangan sidang.
Hingga kini, status uang deposit itu di pembukuan Merpati merupakan piutang yang harus ditagih ke TALG sehingga jika kasus ini diputus oleh hakim sebagai korupsi, maka bisa menjadi alasan bagi TALG untuk mengabaikan perintah pengadilan.
Hotasi merasakan ironi bagi penegakan hukum di Indonesia dan di AS. Di AS, pengadilan di sana telah menyidangkan warganya sendiri yang telah menggelaplan dana deposit demi tegaknya hukum bisnis yang berlaku. Di Indonesia, tempat BUMN kehilangan uang negara, justru menyidangkan perkara perdata ini ke ranah pidana korupsi.
Jika deposit Merpati itu dianggap uang negara, kejaksaan sebagai pengacara negara seharusnya wajib berupaya keras mengejar pengembalian uang dari kedua orang itu. Kejaksaan dapat bekerja sama dengan Interpol dan KBRI. "Namun, tampaknya kejaksaan lebih mudah memidanakan saya dan Pak Tony sebagai sumber masalah yang terjadi daripada bekerja keras mengejar uang itu," kata Hotasi.
Jika kejaksaan tidak berbuat apa-apa dan keputusan pengadilan AS melepaskan Jon Cooper, di saat itulah kerugian negara telah terjadi. "Jika kami diputuskan bersalah akibat kelalaian yang disengaja, mereka dapat menggunakan pidana korupsi itu sebagai hal yang meringankan Jon Cooper," papar Hotasi.
Hotasi merasa menjadi korban kejahatan dua warga negara AS itu, tetapi dijadikan pesakitan oleh kejaksaan sendiri. Sementara kejaksaan AS memidanakan kedua orang itu. Sudah kehilangan uang, kemudian dipermalukan sebagai terdakwa korupsi, sedangkan kedua warga negara AS berpeluang melenggang bebas membawa uang itu.
"Kami, saya, Tony Sudjiarto, rekan mantan Direksi Merpati lain, dan Merpati sendiri adalah korban kejahatan orang lain. Sangat sederhana," kata Hotasi. Dengan perkara ini, seandainya ia divonis bersalah, kata Hotasi, bisa menjadi preseden buruk bagi pengambilan keputusan bisnis direksi BUMN karena setiap keputusan direksi yang memiliki risiko bisni di masa lalu dan hari ini dengan mudah bisa dipidanakan, terlepas apakah dia telah bekerja bersih dan jujur untuk BUMN.
"(Jika saya divonis bersalah) Tidak akan ada satu pun Direksi BUMN sekarang yang akan pensiun tenang. Selalu mungkin datang surat panggilan beramplop coklat berisi pemanggilan atas keputusan yang dibuat hari ini. Atasan atau kolega belum tentu akan membela karena sudah lupa," kata Hotasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.