Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Diminta Usut Keterlibatan Boediono dalam Kasus BLBI

Kompas.com - 27/01/2013, 20:50 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi diminta mengusut keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selaku direktur BI saat itu, Boediono bersama jajaran direksi BI lainnya, memutuskan untuk memberikan kelonggaran fasilitas terhadap sejumlah bank ketika dikhawatirkan terjadi persoalan likuiditas dan penarikan dana oleh nasabah (rush).

Keputusan dewan direksi BI yang diambil dalam rapat 15 Agustus dan 20 Agustus 1997 ini dianggap sebagai pangkal kasus BLBI yang menimbulkan kerugian negara triliunan rupiah.

"Jangan memotong kasus BLBI, direksi yang lainnya ada yang diseret ke pengadilan, tapi ada juga yang belum. Harapan kita tinggal KPK, tapi KPK memang tidak seindah yang kita bayangkan. Bagaimana KPK harus didesak agar tidak menggunakan standar ganda dalam pengusutan kasus korupsi," kata anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Ahmad Yani dalam diskusi bertajuk "Penjara dan Pemakzulan Terkait Fakta Hukum Keterlibatan Boediono dalam Skandal BLBI" di Jakarta, Minggu (27/1/2013).

Diskusi tersebut diselenggarakan Petisi 28. Menurut Yani, keterlibatan Boediono dalam kasus ini sudah jelas. Putusan Mahkamah Agung No 977, 979, 981 K/Pid/2004 tanggal 10 Juni 2005, menyebut Boediono ikut dalam rapat Direksi BI pada 15 Agustus 1997. Hasil rapat tersebut intinya mengizinkan pemberian bantuan likuiditas dengan memberikan fasilitas kelonggaran berupa fasilitas saldo debet kepada kantor pusat atau cabang Bank yang mengalami kesulitan likuiditas hingga gejolak mereda.

Boediono juga terlibat dalam rapat 20 Agustus 1997 yang hasilnya memutuskan untuk kembali mengucurkan bantuan likuiditas dengan alasan perbankan belum pulih. Bantuan diberikan kepada Bank Danamon dan bank lainnya, yang disebut mengalami penarikan dana cukup besar oleh pihak ketiga. Sekitar 18 Bank diberikan diberikan fasilitas tersebut.

Menurut putusan MA, hasil rapat tanggal 15 Agustus dan 20 Agustus inilah yang menjadi dasar oleh tiga terdakwa, yakni Hendrobudiyanto (direktur I), Heru Soepraptomo (Direktur II), dan Paul Soetopo (Direktur III), menyalahgunakan kewenangannya dan melakukan perbuatan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian negara. Ketiganya divonis bersalah melakukan korupsi secara bersama- sama dan dihukum penjara satu tahun enam bulan.

"Pada waktu Antasari, KPK udah bikin tim untuk kasus ini, tapi mungkin karena operasi intelijien, dia jadi pesakitan," ujar Yani.

Menurutnya, KPK sebenarnya bisa mengusut kasus dugaan korupsi BLBI ini. Alasan KPK yang mengatakan tidak bisa mengusut kasus yang terjadi sebelum lembaga antikorupsi itu berdiri, menurutnya, tidak relevan.

Yani mengatakan, KPK sebenarnya bisa mengambil alih atau mensupervisi kasus ini dari Kejaksaan Agung. "Bukan diusut dari awal, tapi diambil alih ya," tambahnya.

Aktivis Petisi 28, Haris Rusly dalam kesempatan yang sama mengatakan, pihaknya akan menjadikan dokumen putusan MA tersebut sebagai barang bukti yang akan disampaikan kepada Kejaksaan Agung dan DPR. Rusly menuntut agar keterlibatan Boediono diusut.

"Jangan sampai ada yang berkuasa, bisa berbuat seenaknya. Kalau Boediono ini yang sekarang jadi wapres tidak berhasil kita tangkap, maka ini akan jadi preseden buruk ke depannya," ujar Rusli.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

    DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

    Nasional
    KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

    KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

    Nasional
    Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

    Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

    Nasional
    Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

    Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

    Nasional
    Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

    Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

    Nasional
    MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

    MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

    Nasional
    Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

    Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

    Nasional
    Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

    Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

    [POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

    Nasional
    Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

    Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

    Nasional
    Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

    Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

    Nasional
    Menko Polhukam Harap Perpres 'Publisher Rights' Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

    Menko Polhukam Harap Perpres "Publisher Rights" Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

    Nasional
    Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

    Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com